Meski Produksi Nikel Naik, Kapasitas Industri Baterai RI Kurang dari 0,4 Persen

9 Februari 2024 12:28 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tambang nikel. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tambang nikel. Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggencarkan konsep hilirisasi mineral sehingga produksi bijih nikel melonjak. Namun, kapasitas produksi baterai listrik di Indonesia diperkirakan masih minim di tahun ini.
ADVERTISEMENT
Energy Shift Institute memperkirakan tahun ini Indonesia hanya akan memiliki 10 gigawatt-hour (GWh) atau kurang dari 0,4 persen kapasitas produksi baterai global yang mencapai 2.800 GWh.
Di sisi lain, produksi nikel Indonesia diperkirakan akan terus mendominasi. Pada tahun 2023, produksi nikel Indonesia mencapai 49 persen dari total produksi global dan diperkirakan terus meningkat hingga 70 persen pada tahun 2040.
"Dengan kapasitas global diperkirakan meningkat dua kali lipat menuju 2030, sangat jelas Indonesia tertinggal jauh di belakang, meski produksi nikelnya meningkat lebih dari delapan kali lipat sejak 2015," kata Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, melalui keterangan resmi Jumat (9/2).
Putra menjelaskan, hilirisasi nikel Indonesia memiliki tujuan dan narasi untuk meningkatkan nilai tambah nikel dan membuat Indonesia sebagai pemain kunci dalam industri baterai dan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) dunia.
Ilustrasi ore nikel. Foto: Potapov Alexander/Shutterstock
Namun, investasi ekosistem baterai kendaraan listrik di Indonesia kerap tersamarkan dengan angka investasi untuk produk setengah jadi. Kemajuan industri ini memang dimulai dari bahan mentah menjadi produk setengah jadi untuk industri baterai.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, kata Putra, sekitar 3/4 ekspor nikel Indonesia masih berkaitan dengan industri baja tahan karat (stainless steel). Namun, ketika Indonesia perlahan merangkak naik dalam rantai pasok industri baterai, perlombaan di antara negara-negara lain sudah terlanjur berjalan kencang.
"Sejauh ini, nilai tambah berbagai produk nikel Indonesia berkisar antara dua hingga 11 kali lipat dibanding produk mentahnya. Namun, nilai ini masih jauh di bawah nilai tambah yang lebih dari 60 kali lipat jika mencapai produksi baterai," ungkapnya.
Putra menyoroti pertumbuhan kapasitas produksi baterai dunia berlangsung lebih cepat dibandingkan permintaan. Dalam semester I tahun 2023, pabrik baterai di China secara rata-rata beroperasi kurang dari 45 persen kapasitas produksinya.
Aktivitas tambang nikel di PT Vale Indonesia di kawasan Harapan East, Blok Sorowako. Foto: Angga Sukmawijaya/kumparan
Seiring dengan terus dibangunnya kapasitas di China, ditambah dengan dorongan agresif dari Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk mengembangkan industri mereka, persaingan untuk investasi akan semakin ketat, meski dalam pasar yang terus tumbuh.
ADVERTISEMENT
Putra menambahkan, pengawasan investor terhadap praktik lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam rantai pasokan nikel dan baterai juga akan terus meningkat. Hal ini semakin penting dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang akan menjadi pusat pertumbuhan kendaraan listrik berikutnya dengan standar rantai pasok yang lebih tinggi.

Adopsi Kendaraan Listrik Indonesia Masih Lamban

Putra menuturkan, produsen baterai kini condong menempatkan investasi pabrik mengikuti perkembangan pasar, namun adopsi kendaraan listrik di Indonesia masih cukup lamban.
"Berita masuknya raksasa KBLBB, BYD, ke Indonesia patut diapresiasi namun kemungkinan tidak akan berimbas besar dalam pengembangan pabrik baterai berbasis nikel karena model kendaraan mereka yang kebanyakan menggunakan baterai tanpa nikel," jelasnya.
Hal ini juga seiring dengan perhatian publik belakangan ini banyak tertuju pada pesatnya pertumbuhan baterai tanpa nikel dan perdebatan mengenai masa depan nikel. Namun, Putra memandang permintaan nikel dunia untuk baterai sangat mungkin akan terus melambung.
Smelter nikel PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM). Foto: PT Antam
Ketatnya persaingan Indonesia dengan negara ASEAN lainnya untuk memberikan insentif untuk investasi pabrikan kendaraan listrik dan baterai, menurut dia, juga menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas daya tawar hilirisasi nikel dalam mendorong industri baterai di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, satu hal yang kerap luput dari perhatian adalah bahwa Indonesia juga terus meningkatkan produksi kobaltnya, sebagai produsen kobalt terbesar kedua di dunia. Hal ini semakin menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang optimal.
"Dengan arah saat ini, kemungkinan Indonesia hanya akan bergeser dari eksportir produk nikel untuk baja tahan karat menjadi eksportir produk setengah jadi untuk industri baterai," ujar Putra.
Dengan pesatnya pertumbuhan permintaan nikel dunia, Putra menilai penting untuk berbagai pihak yang terlibat agar tidak memandang enteng skala pertumbuhan ke depan karena revolusi KBLBB dunia baru saja memasuki babak awal.
"Para pemangku kepentingan patut bertanya apakah Indonesia telah benar memperoleh hasil yang optimal untuk sumber daya mineralnya. Dengan kapasitas produksi baterai yang sangat kecil, Indonesia tampaknya telah mencapai batas daya tawar hilirisasi nikelnya. Ini adalah saat yang tepat untuk meninjau ulang dan menata kembali rencana ke depan," pungkasnya.
ADVERTISEMENT