Wuling Air ev

Mimpi Kendaraan Listrik RI: antara Emisi dan Subsidi (2)

29 Mei 2023 16:36 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kritik terbuka Anies Baswedan itu membuat perbincangan mengenai efektivitas subsidi mobil listrik/battery electric vehicle (BEV) kembali menghangat.
Tak cuma itu, Anies sang bakal capres NasDem-PKS-Demokrat itu juga menganggap emisi karbon mobil listrik pribadi lebih tinggi dibanding emisi bus berbahan bakar minyak.
“Bus memuat orang banyak, sementara mobil memuat orang sedikit. Kendaraan pribadi berbasis listrik tidak akan menggantikan mobil yang ada di garasi, malah akan menambah mobil di jalanan dan menambah kemacetan,” kata Anies.
Peluncuran mobil listrik Hyundai Ioniq 5 yang dirakit di Indonesia. Foto: Youtube/Sekretariat Presiden
Program subsidi mobil listrik yang dikritik Anies diluncurkan sejak 1 April 2023. Subsidi itu berupa diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 11% menjadi 1%.
Namun, tak semua mobil listrik mendapat diskon PPN. Hanya mobil dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40% yang mendapatkan diskon PPN. Sejauh ini baru 2 produk mobil listrik yang memenuhi syarat: Hyundai Ioniq 5 dan Wuling Air ev.
Berkat insentif PPN itu, harga Wuling Air ev turun sekitar Rp 24,3 juta–Rp 29,9 juta, sedangkan harga Hyundai Ioniq 5 turun Rp 74,8 juta–Rp 85,9 juta.
Uji emisi gas buang di Jakarta. Foto: Ghulam Muhammad Nayazri / kumparanOTO
Apa iya emisi karbon bus konvensional lebih rendah ketimbang mobil listrik?
Our World In Data mencatat, jejak karbon dioksida bus konvensional per penumpang setiap kilometernya mencapai 105 gram, sedangkan jejak karbon mobil listrik per penumpangnya tiap km adalah 53 gram.
Sementara laman CO2 Everything mendata bahwa karbon yang dihasilkan mobil listrik setiap 10 km mencapai 0,81 kg (Tesla Model 3) sampai 0,99 kg (Nissal Leaf). Sementara karbon yang dihasilkan tiap penumpang bus per 10 km sebesar 1,03 kg.
Artinya, dari sisi emisi karbon yang dihasilkan, mobil listrik memang lebih ramah lingkungan. Oleh sebab itu penerapan kendaraan listrik diharapkan dapat mengurangi tingkat emisi di Indonesia sebesar 32% atau setara 912 juta ton CO2 pada 2030, serta bisa mencapai target nol emisi pada 2060 sesuai komitmen konferensi perubahan iklim COP26 di Glasgow pada 2021.
Namun, kendaraan listrik jadi polemik di Indonesia bukan karena soal emisinya, melainkan perkara subsidi.
Mobil listrik Wuling Air ev. Foto: dok. Wuling Motors

Subsidi Mobil Listrik untuk Siapa?

Saat pertama kali wacana subsidi mobil listrik mencuat pertengahan Desember 2023, rencana insentif yang diberikan sedianya berbentuk potongan harga Rp 80 juta, bukan pengurangan PPN. Namun pemerintah kemudian dihujani kritik yang menyebut bahwa subsidi secara langsung hanya menguntungkan orang kaya. Ini membuat pemerintah mengubah skema insentif dengan mengurangi PPN.
Juru bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri mengatakan, perubahan skema tersebut juga atas masukan dari para menteri di kabinet.
“Yang cukup mengemuka dalam pembahasan [subsidi mobil listrik], andaikan diberikan insentif, sebaiknya untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Tapi kita mau mengubah perilaku masyarakat. Masyarakat tidak hanya ekonomi menengah ke bawah, tapi juga ekonomi menengah atas. Kalau tidak diberikan insentif, barangnya tidak akan bergerak (terjual),” jelas Febri kepada kumparan, Jumat (26/5).
Subsidi juga diberikan untuk motor listrik. Bedanya, insentif untuk motor listrik berupa potongan harga langsung sebesar Rp 7 juta.
Motor Listrik Davigo Dragon. Foto: Rizki Fajar Novanto/kumparan
Febri menyatakan pemberian insentif kendaraan listrik telah sesuai dengan Pasal 3 huruf b Perpres 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan yang berbunyi:
Percepatan program KBL Berbasis Baterai untuk transportasi jalan diselenggarakan melalui: b. pemberian insentif
Pemerintah menegaskan, guyuran subsidi pembelian kendaraan listrik juga merupakan praktik lazim di berbagai negara meski nilai dan bentuk subsidinya berbeda-beda.
Norwegia adalah negara yang memberikan subsidi mobil listrik terbesar dengan skema pembebasan pajak pembelian senilai USD 10.700 (Rp 160,5 juta). Sementara nilai maksimal subsidi mobil listrik di Indonesia lebih besar dibanding Italia dan Belanda (Rp 70,5 juta), Thailand (Rp 62 juta), Kanada (Rp 60 juta), Portugal (Rp 39,7 juta), China (Rp 36 juta), serta Inggris (Rp 30,6 juta).
Deretan mobil listrik Toyota. Foto: Toyota
Kemenperin menyatakan subsidi diperlukan untuk meningkatkan penetrasi kendaraan listrik. Dalam Peta Jalan Kemenperin 2020–2035, sebanyak 400 ribu mobil listrik diharapkan mengaspal pada 2025, lalu bertambah jadi 600 ribu pada 2030, dan 1 juta pada 2035.
Sementara motor listrik ditargetkan terjual 6 juta unit pada 2025, 9 juta unit pada 2030, dan 12 juta unit pada 2035. Angka lebih ambisius justru berasal dari Kementerian ESDM yang memasang target 13 juta motor listrik dan 2 juta mobil listrik pada 2030.
Meningkatnya penetrasi kendaraan listrik diharapkan dapat mempercepat penciptaan ekosistem kendaraan listrik dalam negeri. Ekosistem tersebut di antaranya industri komponen pendukung kendaraan listrik (spare part), perawatan, industri baterai listrik, industri daur ulang baterai listrik, dan jaringan stasiun pengisian.
Terciptanya ekosistem kendaraan listrik juga diharapkan pemerintah bisa menyetop impor BBM pada 2030. Pada 2021, pemerintah masih mengimpor minyak mentah sebesar 286,03 ribu barel per hari (bph) dan BBM sebanyak 379,96 ribu (bph). Apabila impor minyak ini dihentikan, maka menurut Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, negara bisa menghemat devisa hingga Rp 2.000 triliun.
Dengan segala ambisi tersebut, seberapa efektif subsidi mempercepat penetrasi kendaraan listrik di Indonesia?
Pengecekan alat pengisi daya kendaraan listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Rest Area Km 88B Tol Purbaleunyi, Jawa Barat. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), volume penjualan wholesale BEV pada April 2023, ketika insentif PPN efektif berlaku, mencapai 1.285 unit. Jumlah tersebut meningkat 15% dibanding Maret 2023 (month-on-month). Sementara bila dibandingkan dengan April 2022 (year-on-year), jumlahnya melonjak 1.197%.
Secara kumulatif, selama periode Januari–April 2023, sudah 3.086 unit BEV yang terjual. Pada periode yang sama tahun lalu, jumlah BEV yang terjual di kisaran 163 unit saja.
Hakkul, pemilik Wuling Air ev, mengakui insentif PPN membuatnya tertarik membeli mobil listrik. Ia memesan mobilnya pada Maret 2023. Ketika itu insentif belum efektif berlaku, namun calon pembeli dijanjikan tetap mendapat insentif PPN sebesar Rp 26 juta.
“Saya belum terima, tapi saya beli pakai guarantee letter—garansi dari dealer setelah insentif PPN berlaku, ada cash-back,” ucapnya.
Kemenperin menargetkan subsidi PPN bisa membuat 35.862 unit BEV terjual pada 2023. Namun target itu dinilai sulit dicapai. Jika diasumsikan penjualan hingga akhir 2023 konstan seperti April, penambahan mobil listrik pada tahun ini kemungkinan mencapai 10.280 unit.
Ketum Gaikindo Yohannes Nangoi memberikan sambutan pada pembukaan GIIAS 2021 di ICE BSD, Tangerang, Kamis (11/11). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Adapun Gaikindo membidik penjualan BEV sebanyak 20 ribu unit pada tahun ini.
“Komunikasi ke konsumen harus lebih giat lagi. Mungkin [kurang komunikasi] ini yang menyebabkan kurang terlihat [perkembangan pemasarannya]. Penjualan lesu selama April karena banyak hari libur,” ucap Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi.
Sementara Ketua I Gaikindo Jongkie Sugiarto menganggap penjualan BEV pasca-subsidi belum terlalu melonjak lantaran beberapa merek mobil listrik harganya masih mahal.
Efektivitas pemberian insentif memang tidak melulu diukur dari angka penjualan, tetapi juga dari penyaluran subsidi yang tepat sasaran dan tujuan utama BEV untuk menurunkan emisi karbon.
Artikel “Re-thinking procurement incentives for electric vehicles to achieve net-zero emissions” yang dimuat jurnal ilmiah Nature pada April 2022 memotret efektivitas insentif BEV di Amerika Serikat.
Mullen Five, mobil listrik buatan Amerika Serikat Foto: Mullen USA
Di Negeri Paman Sam itu, gelontoran subsidi senilai USD 7.500 atau Rp 115 juta dinikmati oleh orang-orang kaya dan malah meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Subsidi tersebut jadi bumerang karena BEV di AS cenderung dibeli oleh orang-orang berduit untuk dijadikan mobil kedua atau ketiga yang menjadi pajangan di garasi saja, sedangkan yang digunakan sehari-hari tetap mobil bermesin BBM yang tinggi emisi karbonnya.
Sementara masyarakat menengah ke bawah di AS merasa harga BEV tetap mahal walau sudah disubsidi. Alhasil, mereka memilih membeli mobil konvensional atau BEV bekas untuk digunakan tiap harinya.
Sepintas, problem tersebut tampak runyam. Namun, menurut artikel yang ditulis Ashley Nunes dkk. itu, solusi sebetulnya tersedia, yakni melalui pemberian subsidi untuk BEV bekas.
Mobil listrik yang beredar di jalanan. Foto: Sena Pratama/kumparan
Anggapan bahwa subsidi mobil listrik hanya menguntungkan orang-orang kaya juga tampak dari hasil riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang menggunakan pendekatan big data di Twitter pada 8–12 Mei 2023. Hasilnya, mayoritas (80,77%) warganet tak setuju dengan subsidi mobil listrik.
“Mereka menilai pembeli mobil listrik bukan orang yang butuh subsidi. Ini didasarkan pada asumsi [bahwa mobil listrik] secara harga relatif mahal. Maka hampir dipastikan kalangan menengah bawah tidak akan mampu membeli mobil listrik,” ucap Data Analyst Continuum Indef, Wahyu Tri Utomo.

Tak Dilirik karena Salah Sasaran?

Nyatanya, kendaraan listrik di Indonesia sepi peminat meski subsidi telah dikucurkan. Survei Charta Politika pada September 2022 pun mengungkap kurangnya antusiasme masyarakat terhadap kendaraan listrik.
Sebanyak 61% responden mengaku tak berminat membeli atau beralih ke mobil atau motor listrik. Mayoritas masyarakat enggan beralih ke kendaraan listrik karena harga yang mahal. Hanya 28% responden yang berminat beralih ke kendaraan listrik, sementara 11% lainnya tidak tahu atau tidak menjawab.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berujar kendaraan listrik memang bukan kebutuhan primer, melainkan hanya sebagai kendaraan cadangan. Walau demikian, Fabby mendukung program subsidi untuk menstimulus pasar dalam negeri. Tujuannya untuk menciptakan industri kendaraan listrik domestik.
“Ada aspek strategis kalau tidak mengembangkan industri kendaraan listrik, kita hanya akan jadi pasar saja,” ucap Fabby.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif. Foto: Kemenperin
Jubir Kemenperin Febri Hendri menyatakan tengah mengevaluasi penyebab subsidi motor listrik kurang peminat. Menurutnya, bisa saja nanti jumlah lembaga verifikasi independen ditambah agar penyalurannya cepat. Namun terkait usulan memperluas target penerima subsidi, Kemenperin belum melihat urgensinya.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia, Djoko Setijowarno, menilai dengan sepinya minat motor listrik, lebih baik anggaran subsidi digunakan untuk transportasi umum. Menurutnya, anggaran subsidi tersebut lebih tinggi dari anggaran Public Service Obligation (PSO) KRL Jabodetabek dan KRL Jogja-Solo senilai Rp 1,65 triliun.
“Di luar negeri itu, angkutan umumnya dibuat bagus dulu baru kebijakan mobil listriknya dibenahi. Bahkan, mereka tidak menargetkan motor listrik. Kesannya, Indonesia hanya belajar sepenggal,” kata Djoko.
Ekonom Bhima Yudhistira. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies, berpendapat masyarakat yang membeli kendaraan listrik hanya menjadikannya sebagai kendaraan kedua dan ketiga. Sedangkan kelompok masyarakat lainnya, kurang antusias terhadap kendaraan listrik karena alasan kepraktisan dan ekosistem yang belum tercipta, khususnya dari segi pengisian daya (charging).
Tak seperti mengisi BBM di SPBU yang hanya butuh waktu kurang dari 5 menit, pengisian daya kendaraan listrik, khususnya mobil, secara standar butuh waktu 5-8 jam. Sedangkan apabila mengisi daya di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dengan ultra fast charging, dibutuhkan waktu 30 menit.
Masalahnya, jumlah dan sebaran SPKLU masih terbatas. Berdasarkan data Kementerian ESDM sampai April 2023, jumlah SPKLU baru berjumlah 842 unit yang tersebar di 488 lokasi. Diproyeksikan jumlah SPKLU mencapai 1.273 unit pada 2023 dan 24.720 SPKLU pada 2030.
Infografik tren Mobil berbasis listrik. Foto: Dimas Prahara/kumparan
“Jadinya [kendaraan listrik] baru sebatas lifestyle, FOMO (fear of missing out atau takut kehilangan tren). Akhirnya gagal mengurangi polusi, gagal mengurangi kemacetan, gagal membuat orang miskin punya kendaraan pertamanya listrik,” jelas Bhima.
Hakkul, salah satu pengguna mobil listrik, menyatakan alasannya membeli mobil listrik bukanlah FOMO. Ia melihat mobil listrik menguntungkan karena hemat energi. Dari pengalamannya yang tiap hari menempuh jarak tempuh 40 km, konsumsi energi mobil listrik hanya Rp 50 ribu per hari. Berbeda dengan mobil konvensional yang ia miliki sebelumnya, di mana sehari harus isi BBM Rp 200 ribu.
Ia pun mengisi daya 3 hari sekali dengan durasi sekali cas di rumah selama 10 jam, kalau di SPKLU sekitar 2-3 jam. Walau demikian, Hakkul merasakan kekurangan mobil listrik karena harganya yang masih mahal dan jumlah SPKLU masih terbatas.
“Makin dipergunakan makin banyak untungnya. Hitungannya sama kayak naik motor,” ucapnya.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten