Mimpi Merger Pelindo: Standardisasi Layanan, Digitalisasi & Tekan Biaya Logistik

20 September 2021 16:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 1 Oktober 2021 10:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana aktivitas kendaraan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok. Foto: ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
zoom-in-whitePerbesar
Suasana aktivitas kendaraan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok. Foto: ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
ADVERTISEMENT
Merger PT Pelindo I, II, III, dan IV (Persero) kian dekat. Per 1 Oktober 2021, keempat perusahaan akan melebur menjadi satu bernama PT Pelabuhan Indonesia (Persero).
ADVERTISEMENT
Mimpi besar pun dipasang. Targetnya, menjadi operator terminal peti kemas terbesar kedelapan di dunia dengan total throughput peti kemas sebesar 16,7 juta TEUs.
Di balik mimpi besar itu, ada berbagai yang tidak kalah besar harus dikejar, mulai dari standardisasi pelayanan di semua pelabuhan dan terminal Pelindo hingga digitalisasi.
Direktur Operasi PT Pelindo II (Persero), Muarip mengungkapkan, selama ini layanan di terminal dan pelabuhan keempat Pelindo berbeda-beda. Hal ini terjadi karena operatornya tidak satu.
Namun, dengan merger ini, kedalaman di dermaga, peralatan, produktivitas, pola operasi, dan sistem di pelabuhan akan sama satu dengan yang lain. Pelanggan tidak perlu berhubungan dengan banyak orang dalam mengajukan permintaan layanan.
"Dengan adanya penggabungan ini, kita punya standardisasi yang sama. Dari Sabang sampai Merauke, dari main port besar akan kita ukur kecepatan yang sama dan disesuaikan dengan kapasitas masing-masing pelabuhan," ujar dia dalam Webinar Sosialisasi Penggabungan PT Pelabuhan Indonesia I, II, III dan IV (Persero) Menjadi Satu Pelindo, Senin (20/9).
ADVERTISEMENT
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Operasi dan Komersial PT Pelindo VI M. Adji. Sebagai BUMN yang mengoperasikan pelabuhan di wilayah Indonesia Timur, ada ketimpangan dalam banyak hal.
Misalnya pengiriman barang dari barat ke timur biasanya penuh dalam satu kapal. Sebaliknya, saat kapal berbalik arah untuk pulang ke wilayah pulau Jawa, kerap kosong. Dengan adanya merger ini, bisa menghilangkan ketimpangan itu.
"Hal yang kami sering mendapat keluhan di Pelindo IV, kapal ke timur penuh, kembali ke barat kosong. Kita harapkan merger ini bisa menawarkan layanan paket secara komersial ke customer, apakah dari sisi ekspor atau dari volume," kata Aji.

Digitalisasi Bisa Pangkas Birokrasi Pelayanan di Pelabuhan

Standardisasi layanan di semua terminal dan pelabuhan Pelindo juga bisa diwujudkan dengan digitalisasi. Pada 1 Oktober 2021 nanti, PT Pelabuhan Indonesia akan meluncurkan satu portal untuk pelanggan mengakses semua layanan Pelindo bernama customerportal.pelindo.co.id.
ADVERTISEMENT
Di dalam portal itu, akan disediakan layanan mulai dari info registrasi, pengajuan layanan sesuai subholding di empat regional, permohonan layanan kapal, pengiriman data manifestasi, simulasi tarif, hingga call center 24 jam.
"Kita manfaatkan digitalisasi dalam konteks penggabungan ini. Ini bisa memotong birokrasi yang selama ini terjadi dalam pelayanan kita. Kami berempat sudah sepakat bersatu untuk berikan pelayanan yang sama, peti kemas, non peti kemas, marine, hingga logistik," ujar Muarip.
Suasana bongkar muat peti kemas di area pelabuhan JICT. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan

Tekan Biaya Logistik

Dari semua upaya itu, tujuan utama dari Pelindo adalah menekan biaya logistik. Dengan begitu, daya saing bisa terungkit. Direktur Operasi dan Komersial Pelindo III, Putut Sri Muljanto mengatakan, selama ini biaya logistik di Indonesia terbilang besar.
Pada 2018-2019 saja, biaya logistik Indonesia 23 persen terhadap produk domestik bruto. Pelabuhan ikut menyumbang terjadinya biaya logistik karena operasi dan pelabuhan tidak optimal.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, ketidakoptimalan dan kurangnya fasilitas infrastruktur di pelabuhan menyebabkan tingginya biaya logistik, tidak saja di pelabuhan tapi komponen lainnya. Sebagai contoh, selama ini banyak kapal yang lebih lama ada di pelabuhan untuk mengurusi bongkar muat. Padahal, seharusnya waktu tersebut bisa dipangkas.
Kasus lain, adalah waktu keberangkatan kapal hingga meninggalkan pelabuhan juga cukup lama. Biasanya, kata Putut, dari Jakarta ke Papua memakan waktu hingga 49 hari atau 7 minggu, seharusnya bisa dipangkas jadi 5 minggu.
"Ini yang perlu dukungan semua pihak. Harapannya dengan integrasi ini, pelabuhan yang lebih bagus dan optimal. Jadi kapal tinggal menunggu atau terlalu lama di pelabuhan, tapi lebih lama berlayar. Dengan begitu, bisa mengurangi biaya-biaya inventory (penyimpanan) yang saat ini 8,9 persen dari total biaya logistik," kata Putut dalam acara yang sama.
ADVERTISEMENT