Nasib Pilu PANN, BUMN yang Terjerat Utang Sejak 1994 dan Hanya Diurus 1 Direktur

14 Juli 2020 22:00 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah tamu berfoto bersama di depan logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Gedung Kementerian BUMN. Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah tamu berfoto bersama di depan logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Gedung Kementerian BUMN. Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
PT PANN Multi Finance (Persero) merupakan salah satu BUMN yang bernasib pilu sejak 1994. Didirikan pada 1974 untuk mengurusi pembiayaan kapal armada niaga nasional, nasibnya kini memprihatinkan: terlilit utang hingga hanya punya satu direktur.
ADVERTISEMENT
Direktur Utama PANN, Hery Soegiarso Soewandy, menceritakan selama 20 tahun sejak didirikan, PANN menjadi perseroan yang rajin setor dividen dan pajak ke negara. Namun petaka datang mulai 1994.
Menurut dia, pada tahun tersebut pemerintah menempatkan ada dua transaksi program kerja sama asing, yaitu Indonesia-Jerman dan transaksi kerja sama Indonesia-Spanyol.
Dengan Jerman, pinjaman yang diterima perusahaan dalam bentuk pesawat Boeing 737 200 sebanyak 10 unit. Sedangkan kerja sama dengan Spanyol pinjaman dalam bentuk 31 unit kapal ikan. Semuanya diterima PANN dalam bentuk barang.
"Kebetulan kedua transaksi ini memang bukan core bisnis PANN. Untuk pesawat, kami enggak punya ahlinya. Dan kapal yang jadi bisnis kan itu kapal armada niaga, bukan kapal ikan," kata dia dalam rapat dengar pendapat Komisi VI DPR, Selasa (14/7).
ADVERTISEMENT
Dari dua program tersebut, sebanyak 10 pesawat proyeknya mencapai USD 89 juta dan 31 unit kapal ikan USD 182 juta. Pesawat ini ditempatkan di Maskapai Merpati 3 unit, Maskapai Mandala 2 unit, Maskapai Bouraq 2 unit, dan Maskapai Sempati 3 unit.
"Sayangnya keempat perusahaan ini collapse, mereka tidak pernah bayar sepeser pun ke PANN, kecuali Merpati pernah angsur sekali. Padahal dari pinjaman USD 89 juta ini, PANN sudah keluarkan uang dengan cicil waktu itu, kurang lebih USD 34 juta kami sudah bayar. Makanya sampai saat ini kami kesulitan likuiditas karena keuangan tergerus saat itu," lanjutnya.
Proyek kedua adalah 31 kapal ikan Mina Jaya, hanya terselesaikan 14 unit kapal dan 17 tidak pernah rampung. Sehingga 31 unit mangkrak karena tidak bisa dijual sebab di pasar saat itu kalau dibuat dalam negeri Rp 22 miliar, sedangkan dari Spanyol Rp 81 miliar.
ADVERTISEMENT
Kedua transaksi ini menggerus likuiditas perusahaan. Padahal untuk pembangunan kapal sudah keluarkan uang untuk ekshalasi harga Rp 162 miliar, termasuk bayar administrasi bank Rp 23 miliar. Jadi, total utang dari proyek kapal Spanyol itu mencapai Rp 150 miliar.
"Kenapa PANN mengeluarkan itu? Karena harus menyelesaikan proyek. Dan untuk kedua proyek ini, pemerintah menjanjikan modal PANN dari Rp 45 miliar akan ditambah Rp 500 miliar permodalan. Tapi sayangnya itu enggak pernah terealisasikan," ujar Hery.
Sejak proyek gagal 1994 itu, likuiditas tergerus dan habis. Ekuitas perusahaan mulai negatif pada 2004 karena hasil bisnis yang dikelola PANN tidak bisa lagi menutupi kerugian dua proyek ini.
Karena itu, pada 2006 PANN meminta pemerintah setop atas bunga utang dari dua proyek tahun 1994, termasuk pokok dan bunganya berdasarkan kurs 2006 Rp 9.020. Sudah meminta restrukturisasi sejak 2006, pemerintah baru menyetujuinya pada 2013.
Logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terpasang di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta. Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
Dalam restrukturisasi itu, PANN harus mengkonversi pinjaman SLA atau utangnya sudah membengkak dari USD 271 juta menjadi USD 461 juta atau setara Rp 6,6 triliun karena harus bayar bunga dan denda bunga.
ADVERTISEMENT
"Karena itu kami tetap ajukan konversi karena bisnis PANN merupakan amanah perintah pak, bunyinya pemerintah wajib menyediakan pembiayaan sektor maritim. Kami tetap mau berusaha jalankan amanah di undang-undang," kata Hery.
Perusahaan pun mengajukan utang SLA ini agar menjadi Penyertaan Modal Negara (PMN) non tunai tahun lalu. Total utangnya Rp 6,6 triliun.
Berdasarkan catatan kumparan, tahun lalu menjelang masa kerja periode 2014-2019 selesai, Komisi VI DPR memberikan persetujuan atas konversi utang ke PMN.
"Rinciannya, Rp 3,76 triliun dijadikan pokok utang dan Rp 2,8 triliun dihapuskan. Itulah ceritanya," kata Hery.
Selama bertahan sejak ekuitas merah 2004, diakui Hery, biaya operasional ditopang dua hotel bisnis perusahaan di Bandung dan Surabaya.
Kondisi perusahaan tidak sehat ini, hanya punya 21 karyawan dan kursi direktur hanya diisi oleh dirinya seorang.
ADVERTISEMENT
"Saat ini satu-satunya tugas PANN ini restrukturisasi. Tidak ada bisnis pak. Kami hidup terus terang waktu PANN dari hotel yang kami kuasai di Bandung dan Surabaya," ujarnya.