Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Nelayan Bangka, Terhimpit di Tengah Tambang Timah
27 Oktober 2018 12:04 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Iwan Chandra, 40 tahun, nelayan tradisional Pantai Matras, Kabupaten Bangka, di Provinsi Bangka Belitung , tak bisa menyembunyikan kegeramannya. Berkali-kali dia menunjuk Kapal Isap Produksi (KIP) tambang timah di laut yang sedang beroperasi hanya kurang dua mil dari pesisir.
ADVERTISEMENT
Musababnya, aktivitas penambangan timah di wilayah pantai Matras berdampak pada mata pencaharian nelayan. Tangkapan ikan jadi berkurang drastis. Mereka harus melaut hingga lebih dari 15 mil untuk mendapatkan ikan.
Padahal, perahu yang digunakan para nelayan berukuran sangat kecil dengan mesin hanya 15 PK. Risiko terombang-ambing gelombang tinggi, menghantui para pencari ikan ini yang ingin mengais rezeki.
“Tambang ini beroperasi siang, malam. Habis ikan di sini dan kami harus menangkap ikan jauh di tengah lautan,” kata Iwan saat ditemui kumparan, Jumat (19/10) pekan lalu.
Iwan menuturkan, lima tahun lalu sebelum tambang timah masif beroperasi di laut, masih banyak ikan yang mau berdatangan ke tepi pantai. Tak perlu modal ransum dan bahan bakar banyak, dalam jarak satu mil saja nelayan bisa membawa pulang puluhan kilogram ikan.
ADVERTISEMENT
“Sekarang jangan harap, satu atau dua kilo saja sudah benar-benar beruntung. Untuk mendapatkan puluhan kilogram, ya kami harus nekat ke tengah lautan,” ujarnya.
Saat kumparan ikut nelayan ke tengah lautan, penambangan timah di laut wilayah Matras memang cukup masif . Ada enam KIP yang terlihat beroperasi. Saat kapal berputar menghisap pasir timah di dasar lautan, warna air laut berubah menjadi cokelat susu.
Keluhan serupa disampaikan nelayan di daerah Pantai Sampur, Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Mereka mengaku sempat kesulitan melaut karena jalur nelayan tertutup oleh Tambang Inkonvensional Apung yang menyemut tak jauh dari bibir pantai.
Erwandra, 40 tahun, salah seorang nelayan di sana, mengatakan nelayan tradisional di wilayah pesisir Pantai Sampur sudah gerah dengan aktivitas TI Apung. Tangkapan ikan sudah berkurang drastis.
ADVERTISEMENT
“Seperti kondisi bulan ini, seharusnya kami panen ikan. Kalau nelayan bagan bisa dapat sampai Rp 20 juta. Sekarang, dua juta rupiah saja sulit. Yang ada utang membengkak untuk mengganti ransum dan bensin,” ujarnya.
Menurut Erwandra, penambangan yang masif dilakukan di laut kerap membuat para nelayan dan penambang bersitegang. Dia meminta pemerintah menertibkan aktivitas penambangan di laut agar tak mengganggu nelayan.
“Kami pernah mengusir penambang. Jangan sampai ini menjadi konflik kalau tidak segera ditertibkan. Maka pemerintah dan aparat harus tegas, karena diduga banyak pelaku tambang di laut ini ilegal,” ujarnya.
Nelayan Pantai Sampur lainnya, Qodri, 42 tahun, meminta agar Kementerian Kelautan dan Perikanan terjun langsung ke Bangka Belitung, khususnya di Pulau Bangka untuk melihat langsung kondisi nelayan tradisional di pesisir.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, harus segera dicarikan solusi agar laut Bangka tidak semakin tercemar akibat aktivitas penambangan timah. Sebab, kondisi laut terutama di Pantai Sampur yang kini berwarna cokelat pekat sudah sangat mengkhawatirkan.
“Dulu pantai ini berwarna biru dan banyak ikan. Sekarang sudah seperti ini. Mau sampai kapan? Kalau penambangan ada izin kami bisa apa? Yang kami harapkan ada penertiban agar nelayan juga bisa cari makan,” katanya.
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Bangka Belitung, hasil perikanan tangkap sebenarnya terus meningkat. Pada tahun 2017, jumlah perikanan tangkap mencapai 207.000 ton, naik dibandingkan tahun 2016 sebanyak 196.704 ton.
Namun, data yang dikutip dalam Laporan Kinerja Dinas Kelautan dan Perikanan Bangka Belitung tersebut tidak dijelaskan apakah realisasi perikanan tangkap tersebut berasal dari para nelayan tradisional atau nelayan dengan skala besar yang melaut jauh sampai luar peraian Bangka Belitung..
ADVERTISEMENT
Saat kumparan mendatangi Tempat Pelelangan Ikan di Pangkal Balam, Pangkalpinang, pada Senin dini hari (21/10), sebagian besar pedagang mengaku ikan yang di jual di sana berasal dari luar Pangkalpinang.
Salah seorang penjual ikan, Yungki, mengatakan pasokan ikan di TPI Pangkal Balam berasal dari berbagai daerah, seperti Padang, Kalimantan, dan daerah lain. Dia mengakui jika pasokan ikan dari wilayah Bangka Belitung berkurang.
“Dari wilayah Bangka Belitung memang berkurang. Selain karena persoalan cuaca, memang banyak nelayan mengeluh tangkapan menurun karena adanya aktivitas penambangan timah,” ujarnya.
Selain itu, Yungki yang sudah menjual ikan selama 20 tahun di TPI Pangkal Balam, juga mengeluh soal harga ikan yang saat ini terus menurun. Menurut dia, penurunan harga sudah terjadi dalam beberapa bulan terakhir.
ADVERTISEMENT
“Rata-rata harga turun hingga 40 persen,” katanya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kepulauan Bangka Belitung menemukan banyaknya kerusakan laut yang terjadi akibat penambangan timah. Hal tersebut berdampak pada nelayan di Kepulauan Bangka Belitung.
“Menurut kami, sudah saatnya zero tambang di laut, sebelum kerusakan semakin parah. Pemerintah harus mulai beralih ke ekonomi yang berkelanjutan,” kata PJS Direktur Walhi Bangka Belitung, Zulpriadi.
Berdasarkan temuan Walhi, sejak tahun 2006 telah terjadi 34 konflik pertambangan. Konflik ini antara masyarakat nelayan dengan Ponton Isap Produksi dan Kapal Isap Produksi yang merupakan mitra PT Timah yang beroperasi di wilayah tangkap nelayan.
"Ada sekitar 45 ribu nelayan tradisional di pesisir yang terkena dampak akibat pertambangan laut ini," kata Zul.
ADVERTISEMENT
Dari catatan Walhi, setidaknya ada sekitar 54 Kapal Isap Produksi dan 1.269 Ponton Isap Produksi yang beroperasi di perairan laut Bangka Belitung.
Sementara itu, Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman tak membantah kerusakan di laut Bangka sudah parah. Dia memastikan akan membatasi pertambangan dan mendorong agar penambangan yang sudah berizin menggunakan teknologi ramah lingkungan.
“Yang namanya tambang tidak ada yang tidak rusak lingkungan. Tapi tolong minimalkan kerusakannya,” katanya.
Untuk jangka panjang, Erzaldi mengatakan Pemerintah dan DPRD Provinsi Bangka Belitung tengah membahas Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
Menurut Erzaldi, beleid tersebut akan mengatur zona peruntukan untuk laut di wilayah Bangka Belitung. Ada zona tambang, pariwisata, zona penangkapan ikan dan sebagainya, termasuk kawasan laut untuk konservasi.
ADVERTISEMENT
“Makanya Perda Zonasi ini harus cepat. Ketika zonasi sudah ada, kita harus strike mengatur areal pertambangan di laut,” katanya.
Namun dalam rancangan peraturan daerah RZWP3K Babel masih disebutkan adanya zonasi pertambangan laut di Kabupaten Bangka Barat; Kota Pangkalpinang; Kabupaten Bangka; Kabupaten Bangka Tengah; Kabupaten Bangka Selatan, sebagaimana disebutkan di pasal 23,24,25 dan 26. Lokasi tambang laut seperti disebutkan dalam draft RZWP3K mencapai 216 lokasi dengan total luasan mencapai 15.329 hektar.
Walhi menilai, draft RZWP3K Babel masih pro kepentingan tambang laut. Menurut Walhi, RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidak merujuk pada semangat perlindungan masyarakat lokal dan nelayan pesisir sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengolahan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil dan UU no 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam.
ADVERTISEMENT
Dalam UU tersebut jelas bahwa masyarakat pesisir dan nelayan mempunyai prioritas utama dalam mengelola dan memanfaatkan wilayah pesisir dan ruang laut untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan keberlangsungan hidup mereka.