OECD Kritik Porsi BUMN yang Terlalu Dominan

18 Maret 2021 18:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan ruas jalan tol. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan ruas jalan tol. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
ADVERTISEMENT
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) meluncurkan survei ekonomi Indonesia terbaru edisi Maret 2021. Dalam survei tersebut OECD merekomendasikan beberapa hal terkait isu-isu penting yang tengah terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang disoroti OECD adalah tentang tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam Survei Ekonomi tersebut, OECD menyebutkan bahwa BUMN terlalu mendominasi pangsa pasar.
“Misalnya, di sektor ritel bahan bakar khusus, pangsa pasar Pertamina adalah 96 persen pada tahun 2016. Sementara itu bank-bank BUMN menyumbang 40 persen dari aset perbankan nasional. Dalam infrastruktur seperti air, jalan tol, pelabuhan, dan bandara, dominasi BUMN juga bersifat mutlak. Bio Farma merupakan satu-satunya produsen vaksin dan serum di Indonesia,” tulis OECD dalam Survei Ekonomi edisi Maret 2021, Kamis (18/3).
OECD juga menyebut bahwa BUMN diperlakukan khusus misalnya seperti dibebaskan dari kebijakan antitrust. Artinya pemerintah seolah melanggengkan praktik monopoli yang dilakukan BUMN. Praktik tersebut selalu berlindung dibalik alasan bahwa bahwa BUMN berperan untuk pencapaian tujuan pembangunan nasional.
ADVERTISEMENT
Menurut OECD, pengecualian BUMN dari kebijakan antitrust tersebut justru melemahkan prinsip netralitas kompetitif bahwa bisnis swasta mampu bersaing dengan BUMN.
Petugas mengisi bahan bakar di SPBU. Foto: Dok. Pertamina
Tak hanya soal dominasi, OECD juga menyoroti bahwa BUMN terlalu banyak memiliki anak perusahaan. Contohnya Pertamina memiliki anak perusahaan di bidang transportasi udara, pengembangan properti, dan fasilitas kesehatan. OECD mengkritik bahwa hal ini perlu untuk diluruskan. Menurut OECD, BUMN harus tunduk pada undang-undang persaingan usaha salah satunya menghilangkan diversifikasi bisnis yang tidak sejalan dengan bisnis inti.
“Pemerintah harus mendorong BUMN untuk membenarkan logika bisnis yaitu dengan menghilangkan diversifikasi yang tidak terkait (dengan bisnis inti),” tulis OECD.
OECD juga menilai bahwa reformasi semakin diperlukan karena kinerja keuangan dan operasional BUMN telah mengalami tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data OECD, utang gabungan bruto BUMN meningkat menjadi 7,3 persen dari PDB pada Maret 2020 dari 4,7 persen pada dua tahun sebelumnya. Selain itu, beberapa BUMN beroperasi dengan debt-toequity ratios yang tinggi, sehingga menimbulkan risiko fiskal kontijensi yang tidak tercakup secara memadai.
Seorang Teller menghitung uang Rupiah dan Dolar Amerika Serikat di Bank Mandiri. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Untuk itu OECD pun merekomendasikan beberapa poin. Pertama, pemerintah harus meningkatkan tata kelola BUMN agar sejalan dengan praktik global. “BUMN hendaknya selalu tunduk pada aturan persaingan usaha dan diminta pertanggungjawabannya apabila terjadi posisi dominannya di pasar,” tulis OECD.
ADVERTISEMENT
Kedua, OECD mendesak pemerintah melakukan peninjauan kembali atas batasan yang ada saat ini. OECD mendorong agar pemerintah menghapus batasan yang menimbulkan biaya tanpa mendatangkan manfaat, dan memantau batasan yang lain.
OECD juga menyoroti soal penunjukan langsung kepada BUMN untuk menyelesaikan proyek-proyek nasional. OECD menilai penunjukan langsung harus dibatasi. “Batasi penunjukan langsung hanya untuk kebutuhan yang harus dipenuhi saat ini juga, bersifat mendesak, dan tidak diduga, ketika hanya ada pemasok tunggal yang memenuhi kualifikasi, dan harus diakhiri sesegera mungkin,” tulis OECD.