Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.100.3
19 Ramadhan 1446 HRabu, 19 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
OECD Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Jadi 4,9 Persen pada 2025
18 Maret 2025 17:40 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
ADVERTISEMENT
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 dari 5,2 persen menjadi 4,9 persen. Koreksi ini sejalan dengan perlambatan ekonomi di negara berkembang anggota G20.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan terbarunya, OECD menyebut bahwa ekonomi global yang melambat turut berdampak pada Indonesia. Namun, pertumbuhan ekspor Indonesia masih mendapat dorongan dari pergeseran rantai pasok global akibat kebijakan perdagangan yang lebih ketat di beberapa negara.
"Perlambatan diproyeksikan tidak terlalu terasa di India dan Indonesia karena kedua negara ini menarik bisnis baru yang dialihkan dari negara-negara pengekspor yang menghadapi kenaikan tarif lebih tajam," tulis laporan OECD, Selasa (18/3).
Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan lebih rendah pada 2025, OECD memproyeksikan sedikit peningkatan menjadi 5,0 persen pada 2026.
Selain Indonesia, ekonomi Tiongkok juga diprediksi mengalami perlambatan, dengan pertumbuhan 4,8 persen pada 2025, sebelum turun ke 4,4 persen pada 2026. Sementara India diperkirakan tetap tumbuh cukup kuat di level 6,4 persen pada 2024-2025 dan meningkat menjadi 6,6 persen pada 2025-2026.
ADVERTISEMENT
OECD juga mencatat bahwa inflasi di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, diperkirakan meningkat dalam beberapa waktu ke depan.
"Inflasi utama di beberapa negara berkembang lainnya, termasuk Afrika Selatan, Indonesia, dan Tiongkok, diproyeksikan akan meningkat," tulis OECD.
Kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, termasuk kebijakan perdagangan yang lebih ketat serta dampak dari kebijakan moneter di berbagai negara, menjadi faktor utama yang membentuk proyeksi terbaru ini.