OECD Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bisa Tembus 4,9 Persen Tahun Ini

18 Maret 2021 19:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Foto: ANTARA FOTO/ Dhemas Reviyanto
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Foto: ANTARA FOTO/ Dhemas Reviyanto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tembus di kisaran 4,9 persen pada tahun 2021. Proyeksi tersebut dimuat dalam Survei Ekonomi OECD teranyar edisi Maret 2021 yang baru diluncurkan.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurría bahkan mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa melonjak ke level 5,4 persen pada tahun 2022. Seperti diketahui, perekonomian Indonesia sempat anjlok ke minus 2,1 persen sepanjang 2020 akibat krisis yang disebabkan pandemi COVID-19.
“Survei memproyeksikan PDB Indonesia akan pulih sebesar 4,9 persen pada tahun 2021 dan 5,4 persen pada tahun 2022,” ujar Gurria saat Peluncuran Survei Ekonomi OECD Indonesia secara virtual, Kamis (18/3).
Menurut Gurria, pemulihan ekonomi di Indonesia akan terjadi secara bertahap. Meski demikian pemulihan ini akan sangat bergantung pada evolusi situasi kesehatan yang sampai saat ini masih penuh ketidakpastian.
Ilustrasi belanja di pasar swalayan. Foto: Shutterstock
Menurutnya masih adanya ketidakpastian tersebut perlu diwaspadai sebab akan terus membebani investasi dan pariwisata. Untuk itu OECD merekomendasikan agar kebijakan jaring pengaman sosial seperti bansos untuk rumah tangga dan usaha kecil bisa terus dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Selain itu upaya harus difokuskan pada membawa lebih banyak pekerja ke dalam perekonomian formal, meningkatkan keterampilan, dan meningkatkan iklim bisnis dan investasi,” ujarnya.
OECD juga menyebutkan bahwa pandemi COVID-19 ini merupakan krisis terberat bagi Indonesia sejak krismon di 1997. Meski demikian, OECD optimistis Indonesia dapat melalui krisis ini asalkan pemerintah berhasil melakukan reformasi yang tepat.
“Indonesia sedang menghadapi tantangan terberatnya sejak krisis 1997. Namun dengan reformasi yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan semangat dan potensi dari populasi mudanya dan membuat ekonomi bergerak maju lagi,” ujarnya.
Desak Hapus Burden Sharing
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyoroti kebijakan kompromi tanggung renteng alias burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia. Dalam survei ekonomi untuk Indonesia edisi Maret 2021, OECD merekomendasikan kepada pemerintah agar kebijakan tersebut segera diakhiri.
ADVERTISEMENT
“Hapuskan secara bertahap kesepakatan burden sharing, seperti yang diharapkan,” tulis OECD dalam surveinya, Kamis (18/3).
Menurut OECD penting bagi Indonesia untuk menjaga kejelasan batasan antara kebijakan fiskal dan moneter, serta menjaga independensi Bank Indonesia.
OECD menyebut burden sharing adalah kebijakan non-konvensional yang bisa menimbulkan tekanan inflasi sebab kebijakan dilakukan dalam kondisi permintaan masih tertekan. Di sisi lain, dalam teorinya, kebijakan ini juga ditujukan sebagai kebijakan sementara. Untuk itu OECD meminta agar kebijakan ini dihapus secara bertahap.
Sebelumnya dalam catatan kumparan, Badan Pemeriksa Keuangan juga pernah bicara soal hal ini. Anggota III BPK Achsanul Qosasi menilai, jika kebijakan ini terus-terusan dilakukan, maka akan membebani pemerintah, juga BI.
“Kalau seperti ini enggak boleh terjadi terus menerus. Karena nantinya beban BI dan menteri keuangan termasuk beban BUMN akan semakin berat bebannya,” ujar Achsanul dalam Webinar Efektivitas Program PEN Sebagai Respons Penanganan Dampak Pandemi COVID-19, Senin (16/11).
ADVERTISEMENT
Adapun burden sharing adalah skema menanggung beban bersama antara pemerintah, yakni Menteri Keuangan sebagai otoritas fiskal, dan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter guna memenuhi kebutuhan pembiayaan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional karena dampak COVID-19.
Skema burden sharing ini didasarkan pada kelompok penggunaan pembiayaan untuk public goods/benefit dan non-public goods/benefit. Pembiayaan public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak, terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan Pemda.
Sedangkan pembiayaan untuk non-public goods yang menyangkut upaya pemulihan ekonomi dan dunia usaha, terdiri dari pembiayaan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), Korporasi non-UMKM, dan non-public goods lainnya.
Untuk pembiayaan public goods, beban akan ditanggung seluruhnya oleh BI melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dengan mekanisme private placement dengan tingkat kupon sebesar BI reverse repo rate, BI akan mengembalikan bunga/imbalan yang diterima kepada pemerintah secara penuh.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pembiayaan non-public goods untuk UMKM dan Korporasi non-UMKM, akan ditanggung oleh Pemerintah melalui penjualan SBN kepada market dan BI berkontribusi sebesar selisih bunga pasar (market rate) dengan BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1 persen. Adapun, untuk pembiayaan non-public goods lainnya, beban akan ditanggung seluruhnya oleh pemerintah sebesar market rate.