news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

OJK: Kinerja Perusahaan Leasing Akan Minus hingga 6 Persen di 2020

12 Agustus 2020 15:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Foto: Anggi Dwiky Darmawan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Foto: Anggi Dwiky Darmawan/kumparan
ADVERTISEMENT
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan keringanan pembayaran cicilan kredit bagi debitur yang terdampak pandemi virus corona. Ini berlaku tak hanya bagi debitur di bank, tapi juga di perusahaan pembiayaan atau leasing.
ADVERTISEMENT
Kebijakan keringanan kredit tersebut tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional.
Kepala Departemen Pemgawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) II OJK, Bambang W Budiawan, mengatakan langkah restrukturisasi tersebut harus dilakukan demi menjaga agar tidak terjadi lonjakan rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF) secara masif.
Meski demikian, dia mengingatkan bahwa restrukturisasi bukanlah solusi terakhir dalam mengatasi tekanan akibat pandemi COVID-19. Karena setelahnya, ada permasalahan likuiditas dan solvabilitas yang mengintai multifinance.
Perusahaan leasing juga diminta mencari alternatif pendanaan lainnya. Mengingat, perbankan sebagai sumber utama pendaan terbesar di multifinance, tengah mengalami pengetatan likuiditas.
"Selain dari adanya restrukturisasi, juga dari sisi cashflow. Akan susah bertumbuh kalau cashflow-nya masih kering, akan sulit bagi bisnis mereka. Apalagi perusahaan pembiayaan ini 89 persen pendanaan dari pinjaman," kata Bambang dalam webinar Menakar Kekuatan Multifinance di Era New Normal, Menahan Goncangan Lewat Stimulus Kebijakan OJK, Rabu (12/8).
ADVERTISEMENT
Hingga akhir tahun ini, Bambang memperkirakan kinerja perusahaan pembiayaan akan terkontraksi atau minus antara 4 persen hingga 6 persen.
"Terkontraksi di kisaran minus 5 persen plus minus 1 persen," jelasnya.
Sementara itu, Chairman Infobank Institute, Eko B Supriyanto, menuturkan ada sejumlah penyebab yang membuat industri pembiayaan diprediksi mengalami kontraksi alias minus 8 persen hingga minus 10 persen di tahun ini.
Beberapa di antaranya relaksasi pembayaran cicilan kredit, larangan eksekusi kendaraan jaminan, terhentinya permintaan kredit motor atau mobil baru, dan menyangkut jaminan fiducia.
"Nah ini penundaan pembayaran cicilan dan larangan eksekusi akan berakibat kepada pendapatan. Sehingga yakin profit and loss perusahaan multifinance sangat terkonfirmasi mengalami penurunan," kata Eko.
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Dia berharap bank dapat kembali memberikan kepercayaan kepada perusahaan leasing untuk kembali mengucurkan kredit. "Dan tentu multifinance juga harus meningkatkan good corporate governance dan risk profile-nya yang lebih baik," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Eko mengatakan, perusahaan pembiayaan yang melakukan restrukturisasi harus mewaspadai adanya gelombang kedua di kredit bermasalah.
Berdasarkan data sebelumnya, ada sekitar 30 persen debitur yang tidak bisa mengangsur kembali kreditnya setelah dilakukan restrukturisasi.
"Perusahaan tetap harus mewaspadai kredit macet gelombang dua, karena biasanya tidak semua yang direstrukturisasi akan pulih kembali, ada 30 persen yang tidak bisa mengangsur lagi," katanya.
Dari sisi pelaku industri, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno, memproyeksi pertumbuhan industri pembiayaan tahun ini akan mengalami penurunan atau minus 2-3 persen.
Namun demikian, perusahaan pembiayaan telah menyiapkan berbagai strategi untuk tetap bertahan di tengah pandemi. Berbagai strategi tersebut yakni mulai melakukan efisiensi biaya, selektif memilih debitur, serta mencari sumber pendanaan dari perbankan, nonbank, obligasi, hingga pasar modal.
ADVERTISEMENT
"Hal terpenting adalah seleksi debitur ke depan akan menjadi suatu perubahan pola, tidak hanya saat new normal, tapi juga di industri keuangan ke depan," kata Suwandi.
"Sumber dana juga sesuatu yang sangat penting bagi perusahaan pembiayaan karena ini adalah darah dari perputaran bagaimana kita bisa bertumbuh. Kita bisa bertumbuh menjadi industri yang sangat besar tentu tidak terlepas dari dukungan perbankan," tambahnya.
Berdasarkan data OJK per Mei 2020, aset industri perusahaan pembiayaan mengalami penurunan 1,42 persen secara setahunan (yoy) menjadi Rp 507 triliun. Piutang pembiayaan pun mengalami penurunan 6,4 persen (yoy) menjadi Rp 420 triliun.
Sedangkan lana perusahaan turun 65 persen (yoy) menjadi Rp 2,6 triliun di Mei 2020. Kredit bermasalah atau nom performing financing (NPF) melonjak ke level 4,1 persen, naik 51 persen (yoy).
ADVERTISEMENT