OJK Prediksi Kondisi Geopolitik Terus Memanas, tapi Pasar Modal Tetap Cerah

10 Juni 2024 14:18 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) Mahendra Siregar dalam pembukaan perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (2/1/2024). Foto: OJK
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) Mahendra Siregar dalam pembukaan perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (2/1/2024). Foto: OJK
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, menilai kondisi geopolitik tidak akan lebih baik dalam sepuluh tahun ke depan. Hal ini terlihat dari kondisi geopolitik Timur Tengah yang semakin memanas dan berimbas pada kondisi makroekonomi dunia.
ADVERTISEMENT
"Kondisi geopolitik yang menurut hemat saya tidak akan lebih baik 10 (tahun) ke depan," ujar Mahendra dalam acara Musyawarah Anggota Asosiasi Emiten Indonesia 2024 'Menuju Indonesia Emas 2045' Grand Ballroom Kempinski - Hotel Indonesia, Jakarta pada Senin (10/6).
"Jadi kalau berharap geopolitik adalah faktor yang musiman atau cyclical don’t count it ini adalah the new permanent situation jadi fokus pada apa yang memang menjadi tujuan kekuatan kita semua kita kapitalisasikan," sambungnya.
Meski demikian, Mahendra optimistis prospek industri pasar modal Indonesia akan tetap cerah ke depannya. Hal ini didorong oleh adanya sentimen eksternal dan internal mempengaruhi kondisi pasar modal Indonesia.
"Kami di OJK siap untuk membangun suatu ekosistem suatu pelaksanaan proses transaksi perilaku maupun juga accountability dari pasar modal kita yang lebih baik ke depan itu adalah prasyaratnya," kata Mahendra.
ADVERTISEMENT
Dia juga menilai, saat ini pertumbuhan ekonomi makro Indonesia cukup tinggi, angka inflasi terkendali dengan baik, dan stabilitas keuangan juga relatif baik.
BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,11 persen di kuartal I 2024 atau merupakan angka tertinggi sejak 2015.
"Waktu di tahun 1998, 1999, 2002 itu kan kita di tengah-tengah krisis moneter dan 2004 sekalipun masih sangat terdampak di 2009 kita berada di dalam krisis keuangan global," kata Mahendra.
"Sekarang memang geopolitical tention, pertumbuhan inflasinya kalau masuk lagi ke fiskalnya defisitnya sustainability-nya. Jadi ada apa kalau kemudian tidak tumbuh," tambahnya.