Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
OJK Sebut Ada 12 Bank Masuk Kategori Sistemik, Apa Dampaknya?
7 April 2017 9:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga saat ini ada 12 bank besar di Indonesia yang masuk dalam kategori sistemik. Artinya, jika perbankan tersebut mengalami gangguan likuiditas atau kolaps, maka dampaknya bisa merembet ke perbankan lain, bahkan berpotensi menimbulkan krisis di sektor keuangan.
ADVERTISEMENT
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, bank sistemik memiliki ukuran, interkoneksitas, dan kompleksitas yang tinggi. Namun, Muliaman tidak secara gamblang menjelaskan kriteria seperti apa untuk suatu bank dapat masuk sebagai bank sistemik.
Apa sih bank sistemik itu?
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, menurut lembaga keuangan internasional yang terafiliasi dengan banyak bank sentral di dunia, Bank International Settlement (BIS), definisi bank sistemik yaitu bank yang memiliki jumlah aset besar dan kompleksitas produk yang beragam dengan konglomerasi keuangan. Tidak hanya itu, keterkaitan dengan bank lain cukup besar dan posisi bank tersebut tidak tergantikan jika terjadi penutupan.
Penetapan bank yang masuk kategori berdampak sistemik ini secara berkala akan dievaluasi. Artinya, bank yang masuk kategori ini bisa berubah-ubah secara berkala, status bank berdampak sistemik tidak permanen, tergantung apakah bank pada periode tertentu sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh OJK.
ADVERTISEMENT
"Kalau bank itu bermasalah, dia akan mempengaruhi seluruh sistem perbankan, jadi biasanya bank besar yang memiliki jaringan, misalnya dia bank transaksi, dari sisi DPK (dana pihak ketiga) itu signifikan terhadap total DPK di perbankan, secara aset juga," ujar David kepada kumparan (kumparan.com), Jumat (7/4).
Apa dampaknya bank sistemik bagi masyarakat?
Masyarakat tak perlu khawatir. Bahkan, dengan diumumkannya 12 bank yang masuk kategori sistemik, artinya bank tersebut dapat menerapkan aturan yang lebih ketat dan bisa bersikap lebih prudent atau hati-hati.
"Mereka (bank sistemik) harus dari sisi prudential banking lebih ketat, contohnya dari sisi permodalannya, dia harus tambah presentasi CAR (capital adequacy ratio atau rasio kecukupan modal), harus lebih tinggi dibandingkan bank-bank lain yang tidak dikategorikan sebagai bank sistemik," jelas David.
ADVERTISEMENT
Sejak didirikannya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada tahun 2004, masyarakat yang menyimpan dananya di bank bisa bernapas lega. Sebab, LPS menjamin seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee) jika suatu bank mengalami kolaps. Bahkan hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat.
"LPS tentunya back up," katanya.
Namun, dengan diterbitkan peraturan OJK tentang rencana aksi (recovery plan) bagi bank sistemik, maka kemungkinan bank tersebut untuk kolaps akan semakin kecil. Sebab dalam aturan tersebut, OJK mengharuskan bank sistemik untuk menyusun rencana melalui serangkaian opsi pemulihan, baik itu menggunakan sumber daya bank itu sendiri maupun pendekatan bisnis tanpa menggunakan anggaran negara atau bail in dengan sedini mungkin.
ADVERTISEMENT
Menurut David, dengan sistem bail in, nantinya bank sistemik diwajibkan untuk memiliki atau menerbitkan convertible bond yang sewaktu-waktu bisa diubah menjadi ekuitas saham pada saat dalam keadaan krisis.
"Sebaiknya memang diselesaikan dulu internal di banknya masing-masing, makanya mereka harus punya recovery plans," pungkasnya.