Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
OJK Ungkap 21 Emiten Bakal Buyback Tanpa RUPS, Siapkan Anggaran Rp 14,97 Triliun
11 April 2025 11:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sudah ada 21 emiten yang akan buyback tanpa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dengan anggaran yang disiapkan mencapai Rp 14,97 triliun.
ADVERTISEMENT
Kebijakan tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 7 Peraturan OJK (POJK) Nomor 13 Tahun 2023 dan bertujuan untuk memberikan fleksibilitas bagi emiten dalam menghadapi kondisi pasar yang bergejolak.
"Hingga 9 April 2025, terdapat 21 emiten yang berencana untuk melakukan buyback tanpa RUPS dengan total anggaran dana sebesar Rp 14,97 triliun. Hampir mencapai Rp 15 triliun," kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, saat konferensi pers, Jumat (11/4).
"Dan terdapat 15 (emiten) dari 21 emiten yang telah melakukan buyback tanpa RUPS dengan nilai realisasi sebesar Rp 429,72 miliar," tambahnya.
OJK juga telah menyiapkan sejumlah langkah konkret untuk menjaga stabilitas sektor keuangan domestik, khususnya di pasar modal. Di tengah dinamika ekonomi global yang makin tak menentu akibat kebijakan tarif impor dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
ADVERTISEMENT
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menegaskan meski dampak langsung kebijakan tarif tersebut terhadap Indonesia relatif kecil, antisipasi tetap harus dilakukan. Salah satu fokus utama OJK adalah menjaga kepercayaan investor melalui penguatan pasar modal.
“Kami ingin dorong lihat ke depan adalah penguatan dari investasi domestik di pasar modal kita khususnya juga oleh investor institusional atau institutional investor termasuk di dalamnya adalah dari lembaga jasa keuangan milik pemerintah atau BUMN,” ujar Mahendra.
Langkah konkret lainnya adalah memperkuat koordinasi dengan lembaga induk (holding) dari BUMN sektor keuangan agar mereka dapat lebih aktif berinvestasi di pasar modal. Upaya ini diyakini akan menambah daya tahan pasar dalam menghadapi tekanan eksternal dan memperdalam likuiditas sektor keuangan nasional.
ADVERTISEMENT
“Koordinasi dengan dan antara yang menjadi holding dari lembaga jasa keuangan pemerintah dilakukan untuk juga mendorong kemungkinan lebih besar lagi bagi lembaga jasa keuangan yang berada di bawah Danantara melakukan investasi di pasar modal sebagai institutional investor,” sambung Mahendra.
Selain menjaga stabilitas di sektor pasar modal, OJK juga mengantisipasi dampak dari potensi resiprokal kebijakan tarif AS terhadap industri dalam negeri. Meski kontribusi ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya sekitar 10 persen dari total ekspor dan dari jumlah itu, hanya 4-5 persen yang terdampak langsung.
“Kalau dihitung-hitung keseluruhan ya hanya kurang dari 1 persen ya terhadap PDB,” jelasnya.
Namun, OJK tidak ingin menunggu. Bersama kementerian dan lembaga lain di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian, OJK melakukan pemetaan sektor-sektor industri yang paling rentan terhadap dampak kebijakan tarif, baik dalam skenario terburuk maupun kemungkinan terbaik.
ADVERTISEMENT
“Tanpa menunggu hasil dari tiga bulan itu kami melakukan kebijakan ataupun langkah-langkah bersama di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian untuk sektor-sektor yang terkena kalau mau dikatakan first round effect dari kebijakan tarif ini,” ujar Mahendra.
Pemetaan ini digunakan untuk menentukan skema pembiayaan yang bisa tetap mendukung sektor industri terdampak, sekaligus menyiapkan instrumen perbaikan ekosistem jangka panjang, seperti insentif fiskal, perlindungan pasar dalam negeri, hingga pembenahan iklim investasi.
Menurut Mahendra, langkah-langkah ini tidak hanya berfungsi sebagai tameng atas risiko global, tapi juga sebagai momentum untuk reformasi struktural industri nasional. Ia menekankan pentingnya menjadikan situasi ini sebagai peluang untuk memperkuat daya saing dan memperluas akses pasar global.
“Kalau ini dilakukan maka sebenarnya apa yang terjadi dengan risiko dari tarif resiprokal ini justru memberikan momentum baik bagi kita untuk melakukan reformasi kepada keseluruhan iklim dan kondisi investasi di Indonesia sehingga meningkatkan daya saing. Dan itu malah akan bisa memperkuat kemampuan competitiveness kita bukan hanya di Amerika Serikat tapi di seluruh dunia juga,” katanya.
ADVERTISEMENT
Mahendra juga menyoroti perubahan lanskap perdagangan global yang semakin menjauh dari sistem multilateral seperti yang diatur WTO. Menurutnya, kebijakan tarif AS mengindikasikan pergeseran menuju hubungan dagang bilateral berbasis kasus per kasus, yang menambah ketidakpastian dan volatilitas pasar.
Meski begitu, Mahendra yakin dengan langkah antisipatif, keterpaduan antar lembaga, serta penguatan sektor keuangan domestik, Indonesia tidak hanya bisa melewati tantangan ini, tetapi juga keluar sebagai negara dengan struktur ekonomi yang lebih tangguh dan berdaya saing tinggi.
"Dengan adanya momentum dari pengenaan tarif resiprokal ini apalagi kalau kemudian nantinya hasil dari negosiasi dan perundingan tarif yang semula tinggi lagi itu 32 persen tidak jadi diterapkan gitu ya atau diterapkannya jauh lebih rendah gitu, malah kita dapat keuntungan yang besar sekali," tutur Mahendra.
ADVERTISEMENT