Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arif Novianto menilai pengemudi ojol sudah memenuhi persyaratan untuk menerima THR setahun sekali.
Hal ini sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan di mana pengemudi ojol memenuhi syarat sebagai pekerja karena ada aspek perintah, pekerjaan dan upah.
“Ada aspek perintah karena yang menentukan siapa ojol yang dapat orderan itu perusahaan platform. Ada aspek pekerjaan karena dengan orderan itu mereka akan bisa bekerja. Kalau tidak dikasih orderan, mereka tidak bekerja. Ada aspek upahnya karena yang menentukan tarif, potongan, dan yang lain juga platform,” jelas Arif kepada kumparan, Selasa (4/2).
Untuk situasi saat ini, Arif menilai banyak perusahaan platform yang masih bersembunyi di balik hubungan kemitraan. Ia membandingkan situasi ini dengan pengemudi layanan online lain di luar negeri seperti Uber.
ADVERTISEMENT
“Di negara-negara seperti Inggris misalnya Uber, sekarang kan tidak diklasifikasikan sebagai mitra lagi tapi sebagai pekerja karena pasarnya itu ada,” lanjutnya.
Perihal besaran THR untuk pengemudi ojol di Indonesia, Arif mengusulkan agar THR memiliki besaran rata-rata pendapatan ojol.
Selain THR, Arif juga berharap agar pengemudi ojol memiliki upah minimum, jam kerja layak, upah lembur, hak cuti untuk perempuan yang sedang haid sampai hak berserikat.
“Seringkali kan sekarang ojol dilarang berserikat bersuara aja bisa diputus mitra,” ungkap Arif.
Selain Arif, pengamat ketenagakerjaan Timboel Siregar juga menilai kemitraan antara perusahaan platform aplikasi dengan pengemudi ojol telah menjadi satu kesatuan. Untuk itu, THR kepada ojol memang harus diberikan.
“Sehingga bagaimana pekerja ojek online ini pun bisa menjadi subjek yang sejahtera pada saat hari raya seperti pegawai swasta lainnya yang mendapatkan THR, walaupun memang tentunya betul dia bukan pekerja langsung yang memiliki hubungan kerja,” jelas Timboel.
ADVERTISEMENT
Perihal skema, Timboel menyarankan THR dapat berasal dari kewajiban perusahaan platform atau sebagai bagian dari pemotongan dari pembayaran dari konsumen kepada pengemudi ojol yang dialokasikan untuk THR.
“Disisihkan dalam satu hari berapa sehingga nanti dalam setahun dikumpulkan untuk dibayarkan di hari raya,” lanjutnya.
Timboel juga menyarankan agar ojol memiliki aturan perihal keselamatan kerja, jaminan sosial sampai akses terhadap jaminan pensiun. Perihal semakin banyaknya pengemudi ojol di Indonesia, Ia mengungkap sebaiknya pekerja yang sudah ada di sektor formal tidak lagi mencari penghasilan sebagai pengemudi ojol sebagai sampingan.
Hal ini agar potensi pekerja yang belum terserap sektor formal bisa menjadi pengemudi ojol dan jumlah pengemudi ojol tidak membludak. Lebih lanjut menurutnya perusahaan sektor formal juga perlu meregulasi agar karyawan tidak menjadi pengemudi ojol.
ADVERTISEMENT
“Kalau jam 8 pagi masuk, jam 5 sore pulang setelah itu mereka ngojek menjadi pekerja ojol sampai jam 11 malam, jam 12 tidur, hari sabtu minggu tetap juga menjadi pekerja ojol kan mereka akan keletihan, kecapekan sehingga tidak produktif pada saat bekerja,” tutur Timboel.