Lipsus Wabah PMK- Yeka Hendra Fatika

Ombudsman: Ada Pembatasan Stok Minyak Goreng karena Pengusaha Takut (4)

28 Februari 2022 10:26 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Polemik harga minyak goreng yang terkerek naik lalu menjadi langka dalam beberapa bulan terakhir membuat Ombudsman turun tangan memantau kondisi di tengah masyarakat. Temuan Ombudsman, berdasarkan laporan dari 34 provinsi, ada sejumlah indikasi penyebab minyak goreng naik.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Yeka Hendra Fatika, menjelaskan penyebab kenaikan harga minyak goreng mulai dari perilaku produsen, pengusaha CPO hingga kebijakan pemerintah yang menerapkan harga eceran tertinggi serta Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).
Bagaimana faktor-faktor tersebut bisa menyebabkan naiknya harga minyak goreng? Simak petikan wawancara kumparan dengan Yeka selengkapnya:
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika. Foto: Ombudsman RI

Apa penyebab minyak goreng masih langka padahal sudah ada intervensi pemerintah?

Kalau kita lihat dari data BPS, minyak goreng ini, beberapa tahun ini dan sepanjang 2021 meningkat luar biasa. Dari Rp 14 ribuan di awal Januari, lalu naik terus menjadi sekitar Rp 20 ribuan. Masyarakat sudah komplain jauh-jauh hari, tapi ngeluh saja minyak goreng mahal.
Kenapa kemudian terjadi polemik seperti sekarang? Karena pemerintah mengeluarkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) Rp 14 ribu. Otomatis di pasar ada 2 harga: harga HET dan harga yang lama yang berlaku di pasar.
Harga HET ini harus terealisasi di lapangan dan cara paling mudah adalah di ritel modern. Karena di ritel modern kalau ada sanksi usaha dicabut, kan yang rugi mereka juga, terlebih ada struk penjualan, sehingga tidak mengelak soal harga.
Kalau di pasar tradisional kan tidak ada alat ukur. Mereka susah diintervensi. Sehingga mereka bilang bahwa dari distributor atau agen harga belinya Rp 18 ribu, jadi jualnya Rp 20 ribu, misalnya. Masa sekarang harus turunin Rp 14 ribu. Dalam hal ini kan pemerintah tak boleh bikin rugi masyarakat.
Karena ada celah harga tadi otomatis panic buying. Ada masyarakat yang melihat ini jangan-jangan mau langka, kapan lagi dapat barang murah kan, sehingga harga bisa dihemat. Ini mendorong pembelanjaannya jadi di atas kebutuhan. Belum lagi ada yang akhirnya beli di ritel modern, lalu dijual lagi ke toko dan pasar tradisional.

Selain panic buying, apa lagi penyebab kenaikan harga minyak goreng yang berujung kelangkaan?

Kita lompat dari konsumen ke pelaku usaha. Ketika sudah ada HET, sudah ada Satgas Pangan, jangan lupa bahwa kita selaku pelaku usaha di situ jantung kita engap-engap. Polisi sudah mau masuk, Satgas Pangan sudah mau masuk, jangan-jangan kita dicari-cari masalah. Stok banyak disalahin, stok sedikit juga disalahin. Mendingan sekarang enggak usah nyetok. Jadi ya sudah (langka).
Ini terjadi di ritel, dan akhirnya ritel hanya memperkirakan beli paling 10 sampai 20 karton. Karena seperti itu, pagi-pagi minyak goreng sudah habis. Nanti kan dia bisa bilang alasannya sudah habis karena dikirim barangnya segini, mau gimana lagi?
Warga antre membeli minyak goreng murah saat operasi pasar di Jombang, Jawa Timur, Sabtu (12/2). Foto: Syaiful Arif/ANTARA

Kenapa penjual mengurangi stok barang?

Yang jelas sekarang enggak punya stok lagi, enggak berani. Karena kalau punya stok dipermasalahkan, itu satu. Kalau kita lihat dari sisi penjualnya. Kenapa enggak menyetok banyak karena takut dituduh nimbunlah, dituduh ini lah. Buktinya kan ada beberapa misalnya toko-toko yang punya banyak barang dituduh penimbun. Berarti kan pertanyaannya apakah ada pembatasan stok?

Memang stoknya sengaja dibatasi?

Pembatasan stok itu sebagai dampak. Terjadi ketakutan di ritel, agen, hingga distributor minyak goreng. Takut diperiksa.
Stok terbatas minyak goreng juga terjadi di beberapa pasar yang waktu kita periksa itu enggak ada barangnya. Dari sebagian itu mengatakan ada yang seminggu hingga dua minggu tak jualan. Alasannya karena harga tak terprediksi.
Misal saya beli minyak goreng Rp 18 ribu, lalu dijual Rp 20 ribu. Lalu muncullah HET, harga turun. Kalau saya beli lagi Rp 18 ribu, jangan-jangan masyarakat enggak mau beli. Daripada begitu, mending saya enggak jualan.
Terus ada juga yang waktu kita periksa itu barangnya enggak ada. Kedua, barang ada tapi langka. Fakta ketiga, memang kosong. Fakta keempat, takut pelaku usaha itu, takut jualan minyak goreng. Nah ini kan sudah enggak benar, takut.
Stok minyak goreng kosong di minimarket Cilebut Residence, Kabupaten Bogor, Minggu (20/2). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
Begitu juga perilaku di agen dan di distributor, akhirnya dia tidak mau mensuplai banyak minyak goreng. Seperti contoh, misal ada permintaan 1.000 karton minyak goreng. Dia ada barangnya, lalu tiba-tiba ada polisi. Dia diduga nimbun. Kita enggak pernah tahu.
Padahal definisi penimbunan merujuk Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, penimbun itu yang menyimpan barang lebih dari 3 bulan di luar untuk perputaran usaha sehari-hari, jadi kalau perputaran sehari-hari sampai 3 bulan enggak masalah.
Misal saya jualan minyak goreng sehari memutarkan 200 liter. Terus saya sebagai agen ke distributor 1 bulan sekali, berarti 200 liter dikali 30 hari perputaran usaha kan total kebutuhan 6 ribu liter sebulan. Jika barang itu datang hari itu terlihat seperti bersak-sak, padahal itu dicicil keluarnya sehari 200 liter. Apakah saya nimbun? Kan tidak.
Tumpukan kardus berisi minyak goreng kemasan 2 liter yang diamankan polisi dari sebuah gudang di Kampung Kempeng, Desa Cempaka, Kecamatan Warunggunung, Kabupaten Lebak, Banten, Sabtu (26/2). Foto: Asep Fathulrahman/ANTARA

Apakah kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap pembatasan stok minyak goreng di pasaran?

Selain karena pelaku usaha takut, pembatasan stok terjadi karena berubah-ubahnya kebijakan. Bisa dibayangkan tahun 2022 dari tanggal 11 Januari hingga 8 Februari ada 4 Permendag: nomor 1, 3, 6, dan 8 tahun 2022.
Kan pelaku usaha menikmati pasar bebas, enjoy berusaha. Tapi ketika pemerintah sudah masuk, otak mereka berspekulasi bakal ribet urusannya. Implikasinya ada tensi, misal karena pemerintah masuk ke pasar, akhirnya pengusaha mengurangi dulu penjualan. Akhirnya barang cepat habis di gudang penyangga minyak dalam sebulan karena gonta-ganti kebijakan.
Kebijakan kerap direvisi dan pengusaha khawatir makin ngeri kebijakannya. Perubahan kebijakan ini menghasilkan risiko usaha. Ketika risiko makin berat karena kebijakan itu, makanya mesti diperkecil, sehingga usahanya diperkecil atau tutup sekalian tidak jualan dulu.
Distributor mengantarkan minyak goreng ke toko-toko di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa (22/2). Foto: Agaton Kenshanahan/kumparan

Bagaimana dengan kebijakan terbaru mengenai domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) yang digelontorkan Mendag?

Jadi DMO ini kan kewajiban produsen CPO untuk mengalokasikan 20% dari ekspor ke pasar domestik. Adapun DPO, ditetapkan harga CPO Rp 9.300 dan RBD Olein Rp 10.300 per kg. Kebijakan ini yang diintervensi produsen CPO. Beda dengan HET yang diintervensi ritel minyak goreng Rp 14 ribu tadi.
Namun demikian, dari CPO menjadi minyak goreng tidak ujug-ujug berubah. Harus ada produsen. Jadi pertanyaannya, dengan DMO itu, apakah semua produsen minyak goreng di Indonesia bisa mendapat CPO hasil DMO 20 persen tadi sesuai harga DPO? Nah ini perlu dilakukan pendistribusian.
Perusahaan CPO dan perusahaan minyak goreng ini harus "dikawinkan". Mestinya yang melakukan ini Kemendag. Ini enggak ada, siapapun terserah. Kalau tidak diatur begini, ada produsen yang dapat CPO hasil DMO-DPO Rp 9.300 sehingga bisa jual minyak Rp 14 ribu. Ada juga yang enggak dapat CPO tadi, tapi beli di harga internasional Rp 15 ribu.
Intinya kan menjadi enggak nyaman usahanya. Misal sudah beli bahan baku mahal, harus jual. Tiba-tiba oleh pemerintah dipaksa jual murah. Akhirnya banyak CPO enggak dijadiin minyak goreng. Daripada jual rugi. Kalau jual rugi enggak ada dalam filosofi usaha. Ya kalau rugi sorry men, jangan gede-gede. Caranya adalah dikurangi produksinya.

Kenapa polemik ini hanya terjadi di masyarakat, bukan pelaku industri yang butuh minyak goreng?

Menarik. Kenapa yang berteriak cuma konsumen, masyarakat? Kenapa KFC, McD, restoran lain enggak teriak? Kan mereka juga perlu minyak goreng.
Jawabannya: karena mereka bersedia membeli dengan harga mahal. Pabrik (produsen minyak) yang nyetok tuh masuk ke situ—konsumen industri. Di situ dia bisa jual seharga Rp 18 ribu.
Ilustrasi kelapa sawit. Foto: Yogie Hizkia/Shutterstock

Situasi industri sawit sekarang seperti apa?

Sekarang kan ekspor (produk sawit) masih ditunda. Nah makanya ekspor ditunda, harga minyak nabati naik. Ini Indonesia yang dodol bin goblok tuh, implikasinya minyak nabati kan suplai berkurang, berarti permintaan minyak nabati naik. Ya harga kedelai naik, karena kedelai banyak dipakai untuk minyak nabati juga. Makanya kedelai naik sekarang.
Sawit masih ditahan, mereka (petani) masih bisa nahan karena sekarang panen sawit sedikit. Tapi kalau bulan April sampai Juli, atau sekitar Mei mereka bisa mulai panen raya.

Jadi prediksi Ombudsman pada saat itu sudah mulai normal harga minyak goreng?

Iya. Mereka pasti harus ngeluarin (sawit) April, Mei, Juni.

Sebelum ada kebijakan DPO dan DMO, apakah pelaku usaha diajak bicara?

Ada komitmen di akhir 2021, dipanggillah semua perusahaan untuk menyediakan 11,5 juta liter minyak goreng dengan harga Rp 14 ribu per liternya. Sudah ada komitmennya, tapi banyak perusahan yang tidak melaksanakan. Mestinya dikasih insentif dong, kalau dibiarin enggak dikasih insentif, akhirnya pelaku usaha yang mikirin modal.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika. Foto: Ombudsman RI

Apa saran Ombudsman untuk pemerintah?

Begini, Ombudsman bilang mengapa yang diintervensi itu harus yang kemasan premium? Kan minyak goreng ada curah, kemasan sederhana, dan premium. Sekarang ada orang yang sudah mengembangkan brand dan kualitas barangnya, dipaksa jual Rp 14 ribu pasti enggak cukup. Akhirnya ini lama-lama membunuh brand.
Mestinya yang harus diintervensi itu minyak curah, karena itu buat industri kecil, buat gorengan.
Kalau minyak goreng kemasan dipaksa Rp 14 ribu itu jadi problem. Bagaimana pun brand itu kan ada ongkosnya. Ombudsman melihat ada potensi maladministrasi berat, sudah jelas itu. Masa merek mahal harus dibikin jadi Rp 14 ribu?
Kemudian, Ombudsman berharap agar Satgas Pangan melakukan pendekatan pembinaan, bukan penegakkan hukum ke pelaku usaha. Menurut Ombudsman indikasi penegakkan hukum dengan pasal penimbunan (ke pengusaha) itu berdampak terhadap ketakutan dan ketidaknyamanan perusahan, yang ini dikhawatirkan akan mengganggu terhadap suplai barang.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten