Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ombudsman Temukan Malaadministrasi di Lahan Sawit, Potensi Kerugian Rp 76,8 T
18 November 2024 11:07 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Subjek hukum terdiri dari 2.172 Perusahaan Kelapa Sawit dan 1.063 Koperasi/Poktan (Sawit Rakyat) dengan potensi kerugian negara Rp 76, 8 triliun.
Ombudsman RI menggunakan metode Irisan overlay untuk menentukan potensi tumpang tindih di perkebunan sawit. Irisan overlay merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam proses penggabungan dua atau lebih lapisan peta dalam Sistem Informasi Geografis (SIG).
Ombudsman bilang, aspek lahan perkebunan kelapa sawit terdapat potensi kerugian karena penurunan produksi tandan buah kelapa sawit (TBS) akibat tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan.
“Ada tumpang tindih regulasi. Ada banyak peraturan yang membuat masyarakat bingung akan regulasi perizinan pengelolaan lahan kelapa sawit ini. Ketidakjelasan ini akan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada sistem yang ada,” ujar Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, di Jakarta, Senin (18/11).
ADVERTISEMENT
Luas lahan perkebunan kelapa sawit yang saat ini terindikasi tumpang tindih dengan kawasan hutan adalah seluas 3,2 juta hektare. Kemudian 2 juta di antaranya berpotensi akan dikembalikan menjadi hutan sehingga luas lahan sawit berpotensi mengalami penyusutan luasan.
Dari penyusutan lahan tersebut lebih lanjut akan berpotensi mengurangi total produktivitas TBS nasional. Yeka memperkirakan, estimasi potensi nilai kerugian dari berkurangnya produksi TBS nasional karena penyusutan lahan perkebunan kelapa sawit, dengan produktivitas lahan rata-rata 12.8 ton per hektare pada harga TBS Rp 3.000 per Kg senilai Rp 76,8 triliun per tahun pada masa yang akan datang.
“Estimasi kerugian mencapai Rp 76,8 triliun per tahun, pemerintah perlu memperhatikan tata kelola lahan perkebunan sawit, dan percepatan,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Ombudsman menemukan fakta lapangan di Provinsi Riau dan Provinsi Kalimantan Tengah, bahwa banyak perkebunan sawit rakyat yang telah memiliki Hak Atas Tanah (HAT), namun masih masih dinyatakan masuk dalam kawasan hutan.
Oleh karena itu, penyelesaian permasalahan tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan, perlu diselesaikan dengan mengutamakan kepemilikan lahan yang telah diterbitkan bukti kepemilikan HAT dan pengakuan hukum lainnya.
“Dalam hal ini, terhadap lahan pekebun sawit rakyat yang telah memiliki hak atas tanah perlu segera dikeluarkan dari kawasan hutan,” tutur Yeka.