Ombudsman Ungkap Masalah Industri Sawit, Usul Ada Badan Baru yang Mengurusnya

18 November 2024 15:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tandan buah segar kelapa sawit. Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tandan buah segar kelapa sawit. Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
ADVERTISEMENT
Ombudsman RI membeberkan sederet permasalahan di industri kelapa sawit, salah satunya adalah persaingan usaha tidak sehat dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, menemukan permasalahan tata niaga industri kelapa sawit, yakni persaingan usaha antara PKS terintegrasi dengan kebun dan PKS tanpa kebun, dan masalah kebijakan biodiesel, serta pungutan ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME) yang merugikan petani.
ADVERTISEMENT
Yeka memaparkan persaingan usaha yang tak sehat itu bermula dari adanya dualisme izin pendirian PKS yang diampu oleh Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
“Kementan mengampu perizinan PKS yang terintegrasi dengan kebun, sedangkan Kemenperin mengampu perizinan PKS tanpa kebun. Keduanya merujuk pada PP No.5 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK),” ujar Yeka di Kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (18/11).
Menurutnya, dualisme tersebut berdampak terhadap adanya perbedaan syarat pendirian PKS, yang akhirnya memicu permasalahan terkait, dualisme harga Tandan Buah Segar (TBS), ketidakpastian rantai pasok TBS, ketidapastian jaminan jumlah pasokan TBS dan standar kualitas TBS.
“Di lapangan juga muncul dua bentuk harga TBS, yaitu harga yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi untuk pembelian oleh PKS terintegrasi dengan kebun dan harga pasar yang berlaku pada PKS tanpa kebun,” ungkap Yeka.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika di Kantor Ombudsman RI, Jakarta pada Jumat (22/3/2024). Foto: Widya Islamiati/kumparan
Hal tersebut mengakibatkan stabilitas jumlah pasokan TBS di PKS terintegrasi dengan kebun menjadi terganggu. Yeka menegaskan bentuk persaingan tak sehat itu ujungnya bisa mengganggu keberlanjutan industri kelapa sawit di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Selain itu, ketidakpastian rantai pasok TBS yang menjadi salah satu dampak dari persaingan usaha yang tidak sehat antar PKS, terlihat dari tidak akuratnya data dan ketertelusuran produksi tiap persil lahan sawit,” ujar Yeka.
Di samping itu, permasalahan niaga lainnya terkait biodiesel dan pungutan ekspor hasil sawit yang digunakan untuk mengembangkan industri sawit.
“Pungutan ekspor dikelola BPDPKS, yang berbentuk Badan Layanan Umum (BLU), yang seharusnya menggunakan prinsip pengelolaan dana dari Sawit untuk Sawit. Namun dalam pelaksanaannya, BPDPKS mendapatkan mandat untuk mendukung program Biodiesel dengan memberikan insentif biodiesel,” jelas Yeka.
Yeka menilai apabila program biodiesel semakin diperbesar dari B40 ke B50, maka jumlah ekspor dikhawatirkan berkurang, sehingga potongan ekspor menurun. Sementara jumlah biaya insentif yang harus ditanggung semakin besar.
ADVERTISEMENT
“Terakhir, berdasarkan temuan Ombudsman dalam tiga tahun terakhir terdapat peningkatan signifikan terhadap jumlah ekspor POME. Di mana, pungutan ekspor POME lebih rendah dari CPO yang memicu adanya potensi berkurangnya pendapatan negara dari hasil ekspor produk turunan sawit,” tutur Yeka.

Usul RI Bentuk Badan Nasional Urus Industri Kelapa Sawit

Ombudsman RI mengusulkan ke pemerintah untuk segera membentuk badan nasional baru yang khusus mengurusi tata kelola hulu sampai hilir industri kelapa sawit. Yeka mengatakan badan tersebut harus berada langsung di bawah Presiden Prabowo Subianto.
“Pemerintah perlu membentuk Badan Nasional yang mengurusi tata kelola hulu-hilir industri kelapa sawit yang berada langsung di bawah Presiden RI,” ujar Yeka Hendra di Kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (18/11).
ADVERTISEMENT
Yeka mengharapkan badan nasional baru tersebut juga perlu diberi kewenangan untuk mengatur, pembinaan, pendampingan, dan pengawasan terkait urusan industri kelapa sawit. Sebab, kata Yeka, kebijakan yang mengatur industri kelapa sawit saat ini tidak terintegrasi dengan baik, sehingga sulit mencapai target yang diharapkan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mendukung usulan badan baru itu. Ia menilai industri kelapa sawit bisa lebih baik dengan adanya badan baru tersebut.
“Dengan ada badan itu justru seharusnya, seperti di Malaysia itu menjadi lebih baik tata kelolanya begitu kan kita melihat negara tetangga kita Malaysia, kalau mau jujur mereka tata kelolanya lebih bagus dibanding indonesia kan gitu,” kata Eddy kepada kumparan, Senin (18/11)
ADVERTISEMENT
Menurutnya dengan adanya badan khusus mengurusi kelapa sawit, tata kelola, kebijakan, yang saat ini tumpang tindih, bisa menjadi jawaban terkait industri kelapa sawit Indonesia ke depan.
“Justru kita kan merasa sebenarnya bahwa negara ini kan banyak sekali ada 37 kementerian/lembaga yang mengurusi industri sawit, nah ini yang menjadi tata kelola kita jadi tumpang tindih, kebijakan, yang kementerian A ngeluarin kebijakan ini, terus kementerian B beda lagi,” ujar Eddy.