Omnibus Law Panen Kritik dari Buruh hingga Faisal Basri

27 Februari 2020 17:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi bertajuk Omnibus Law Cipta Kerja Bikin Ambyar di Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, Kamis (27/2). Foto: Muhammad Darisman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi bertajuk Omnibus Law Cipta Kerja Bikin Ambyar di Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, Kamis (27/2). Foto: Muhammad Darisman/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cika) terus berjalan. Meski menuai pro kontra di sana-sini, nyatanya pemerintah diam-diam tetap mengirim draf RUU Omnibus Law Cika ini ke DPR.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Omnibus Law Cika itu dinilai lebih berpihak pada pengusaha lantaran tujuan utamanya mempermudah investasi. Di sisi lain, keberadaan undang-undang sapu jagad ini dikhawatirkan bakal mengancam sektor ketenagakerjaan.
Atas dasar itulah, keberadaan Omnibus Law Cika ini ditolak oleh para buruh hingga pekerja media.
Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Dedi Hardianto mengatakan, mereka tidak pernah dilibatkan oleh pemerintah merancang draf RUU tersebut.
“Ada statement pemerintah seolah serikat buruh telah diajak membahas Omnibus Law dulu namanya Cilaka diubah Ciker, kami mengatakan itu petaka. Pemerintah berlomba mengatakan serikat buruh diajak itu kebohongan publik, saya katakan tidak pernah ada diajak membahas,” ujar Dedi dalam diskusi ‘Omnibus Law Cipta Kerja Bikin Ambyar’ di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Kamis (27/2).
ADVERTISEMENT
Dedi secara tegas mengatakan mereka menolak ketenagakerjaan juga diatur dalam undang-undang itu. Sebab, beberapa pasal di dalamnya mengancam hak-hak buruh, mulai dari upah hingga masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Tidak ada kepastian lagi, upah misalnya yang normal 40 jam sekarang 35 jam, ketika itu diterapkan buruh akan miskin. Dari awal kami meminta ketenagakerjaan itu dikeluarkan dari Cipta Kerja,” tegasnya.
Sejumlah buruh mengikuti aksi unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law di Depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (30/1). Foto: ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
Penolakan senada juga disampaikan oleh Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani. Undang-undang tersebut, kata Asnil, akan semakin memperburuk nasib jurnalis yang saat ini saja sudah rentan terkena PHK akibat industri media yang tengah mengalami kesulitan.
“Saya khawatir dengan ada undang-undang justru bukan mencipta lapangan kerja, justru memberangus pekerjaan teman-teman media selama ini yang kantornya sudah surut,” ujar Asnil dalam diskusi yang sama.
ADVERTISEMENT
Salah satu aturan yang ia soroti adalah terkait pemberian sanksi terhadap media. Sanksi denda yang di dalam UU Pers nilainya Rp 500 juta berubah menjadi Rp 2 miliar di dalam Omnibus Law.
Ia menolak media diatur dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Sebab media bekerja di bawah naungan UU Pers dan Dewan Pers, bukan pemerintah.
“Kami menolak Omnibus Law, tidak hanya ketenagakerjaan kita tolak seluruhnya. Pertama status kita sebagai buruh, kedua status kita sebagai jurnalis. Ini lagi-lagi lahirnya Departemen Penerangan baru, makanya karena ini cacat dari lahir kami ikut menolak seluruhnya,” pungkasnya.
Faisal Basri - Resya Firmansyah/kumparan

Kritik Faisal Basri ke Omnibus Law

Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Cika) menuai kritikan demi kritikan. Meski undang-undang sapu jagad yang dirancang pemerintah itu baru sebatas draf, namun telah memunculkan berbagai kekhawatiran di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ekonom senior Faisal Basri menilai, Omnibus Law Cika ini berpotensi menabrak semua aturan yang dianggap menghambat investasi.
“Nabinya adalah investasi, investasi kalau meningkat akan menghapuskan pengangguran, dan pertumbuhan akan naik. Nah segala sesuatu yang menghambat investasi itu akan dilibas,” ujar Faisal usai mengikuti diskusi Omnibus Law Cipta Kerja Bikin Ambyar, di kantor AJI Jakarta, Kamis (27/8).
Keberadaan Omnibus Law Cika berpotensi membuat aturan yang melindungi buruh akan lebih longgar. Sementara di lain sisi, pengusaha justru bakal lebih dimanjakan.
“Apa misalnya, rigiditas aturan di perburuhan dirilekskan. Kalau bisa ndak ada hambatan sama sekali. Beban-beban yang selama ini dirasakan dunia usaha akan dibakar oleh Omnibus Law ini,” jelas Faisal
Faisal Basri juga menilai alasan pemerintah merancang Omnibus Law untuk menggenjot investasi tidak tepat. Sebab, sektor investasi di Indonesia justru terus mengalami kenaikan.
ADVERTISEMENT
“Padahal investasi itu menurut saya tidak jelek-jelek amat. Investasi itu tidak turun, bahkan naik di atas rata-rata negara yang menjadi pesaing kita,” ujarnya.
Kalau alasan pemerintah adalah permintaan dari para investor luar, Faisal menilai itu juga tidak bisa dijadikan landasan merancang RUU yang pembuatan drafnya tergesa-gesa dan terkesan diam-diam itu.
Sebab menurutnya, persoalan Indonesia yang disoroti negara lain itu justru korupsi dan birokrasi, bukan kesulitan melakukan investasi.
“Kalau tuntutannya dari asing, saya tidak melihat itu. Di mata asing masalah yang mendasar di Indonesia adalah korupsi, justru KPK-nya dilemahkan,” tuturnya.
“Di mata asing kedua masalah adalah birokrasi pemerintahan yang tidak efisien. Itu bukan masalah buruh, bukan masalah lingkungan, karena korporasi yang besar itu sadar betul dan telah mengimplementasikan standar lingkungan yang ketat,” imbuh Faisal Basri.
ADVERTISEMENT