Omzet UMKM Turun Padahal Konsumsi Rumah Tangga Tinggi, Kok Bisa?

12 Agustus 2023 17:05 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana di Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, Minggu (3/7/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, Minggu (3/7/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Pelaku UMKM ramai-ramai mengeluhkan penurunan pendapatan atau omzet. Kondisi ini di tengah angka konsumsi rumah tangga yang sedang moncer dan menjadi faktor utama pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2023 sebesar 5,17 persen (yoy). Dari data ini, sebesar 53,31 persennya disumbang oleh konsumsi rumah tangga, tumbuh 5,23 persen. Konsumsi rumah tangga juga menjadi salah satu cerminan dari daya beli masyarakat.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan pertumbuhan konsumsi rumah tangga di dalam negeri cukup bagus dan sudah menyamai posisi sebelum pandemi COVID-19.
Namun, jika dilihat dengan indikator lain, misalnya Indeks Penjualan Riil hasil survei Bank Indonesia, indeks pertumbuhannya tidak terlalu tinggi. IPR pada Juli 2023 yakni 212,7, turun 4,5 persen secara bulanan (mtm).
"Kenapa ada sebagian pedagang yang mengeluhkan omzet menurun, ini bisa jadi kalau dibedah konsumsi masyarakat ini ada kesenjangan antara kalangan menengah atas dan bawah," ungkapnya kepada kumparan, Sabtu (12/8).
ADVERTISEMENT
Menurut Faisal, tingkat konsumsi rumah tangga yang tinggi lebih banyak didorong oleh kalangan menengah atas. Sementara daya beli masyarakat kalangan bawah memang cenderung melemah.
"Pedagang yang mana menurut saya ini juga perlu dibedah pedagang mana, ini dugaan saya yang produk dan jasanya menyasar kalangan menengah bawah," lanjutnya.
Sementara itu, Direktur Center of Law and Economic Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai penyebab banyak omzet pedagang menurun lantaran ada diskoneksi antara pengakuan konsumen bahwa mereka ingin belanja lebih banyak dengan tren penjualan ritel yang melambat.
"Indikator ekonomi yang saling bertabrakan ini menjadi sinyal bahwa ada kecenderungan konsumen memiliki optimisme semu. Bilang mau belanja, padahal mereka menambah tabungan di perbankan terutama deposito berjangka," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Hal ini terlihat dari data simpanan berjangka perorangan yang meningkat 7,6 persen menjadi Rp 1.434,4 triliun per Juni 2023. Bhima mengatakan, jika uang lebih banyak menumpuk di bank, sektor riil bisa macet.
Selain itu, lanjut dia, tinggi nya pertumbuhan simpanan jadi bukti kelompok paling atas yang menguasai 46,7 persen total konsumsi nasional cenderung menahan belanja di dalam negeri.
"Bisa jadi belanjanya diluar negeri karena COVID sudah reda beli barang mewah, jadi uangnya tidak spending di dalam negeri. Ada juga yang khawatir soal pemilu, atau kondisi ekonomi global yang menunjukkan perlambatan," tuturnya.
Bhima menilai, perlu dicermati pula kalangan kelas menengah yang tertekan karena masih berjuang mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak, di tengah inflasi yang lebih tinggi dibandingkan pra pandemi.
ADVERTISEMENT
"Banyak harga kebutuhan pangan dan transportasi naik terlalu tinggi sehingga uang untuk beli baju makin terbatas. Ada juga yang sebelumnya mendapat banyak bantuan selama pandemi, begitu disetop bantuannya keuangan rumah tangga jadi limbung," pungkas dia.