OPEC dan Rusia Pangkas Produksi Minyak, Apa Dampaknya ke Indonesia?

9 Desember 2018 15:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pompa angguk di sumur minyak. (Foto: instagram @cahayabumi)
zoom-in-whitePerbesar
Pompa angguk di sumur minyak. (Foto: instagram @cahayabumi)
ADVERTISEMENT
Pada Jumat (7/12) lalu, kesepakatan penting berhasil dicapai oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutu yang dipimpin Rusia. Pada 2019, mereka akan mengurangi produksi minyak hingga 1,2 juta barel per hari.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto memperkirakan, harga minyak dunia tak akan melonjak sehingga dampak pengurangan produksi ini tak signifikan bagi Indonesia.
Pri Agung menjelaskan, saat ini yang paling penting bagi produsen-produsen minyak adalah stabilitas harga. Pemangkasan produksi ini dilakukan karena harga minyak mentah turun terlalu tajam dalam sebulan terakhir. Jika harga minyak naik terlalu tinggi, produsen akan kembali mengambil langkah kompromi.
"Era minyak mahal sudah lewat. Kalau enggak ada kejadian luar biasa, tidak akan ada perubahan harga yang drastis sehingga kenaikan harga minyak juga tidak terlalu tinggi, tidak akan jauh dari level sekarang. Kalau nanti harga minyak sampai USD 80 per barel, biasanya OPEC jga akan berkompromi lagi. Jadi ada semacam komitmen dari para pelaku, yang penting stabilitas harga," kata Pri Agung kepada kumparan, Minggu (9/12).
Ilustrasi ladang minyak (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ladang minyak (Foto: Pixabay)
Pemerintah dalam APBN 2019 telah menetapkan asumsi Indonesian Crude Price (ICP) sebesar USD 70 per barel. Menurut Pri Agung, harga minyak tidak akan jauh dari asumsi tersebut sehingga penerimaan negara dari hulu migas dan subsidi energi tak akan meleset jauh.
ADVERTISEMENT
"APBN 2019 sudah mendesain asumsi ICP sebesar USD 70 per barel," ucapnya.
Ia juga memprediksi bahwa pemerintah belum akan menaikkan harga BBM subsidi (Solar) maupun BBM penugasan (Premium) pada 2019, walaupun harga minyak mengalami sedikit kenaikan. Siapa pun pemenang pemilihan presiden (pilpres), baik Prabowo maupun Jokowi, tentu enggan mengambil kebijakan tak populis di periode awal pemerintahan baru.
Senada, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan juga memperkirakan bahwa kenaikan harga minyak mentah pada tahun depan tak signifikan. Sebab, Amerika Serikat (AS) yang merupakan salah satu produsen minyak terbesar dunia saat ini tak sepakat dengan pemangkasan produksi. Presiden AS Donald Trump ingin harga minyak dunia turun.
"Kesepakatan pengurangan produksi 1,2 juta barel per hari cukup besar, kemungkinan ada tren kenaikan harga ke depan. Tapi perlu diingat juga, AS saat ini tidak berniat mengurangi produksi. Trump tidak mau harga minyak mahal, dan akan berupaya harga minyak tidak naik tinggi," kata Mamit.
Eksplorasi migas lepas pantai. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Eksplorasi migas lepas pantai. (Foto: Wikimedia Commons)
Dampak negatifnya, Mamit berpendapat bahwa kenaikan harga minyak hingga USD 70 per barel itu akan membuat beban PT Pertamina (Persero) bertambah. Sebab, pemerintah tak akan menaikkan harga Premium dan Solar.
ADVERTISEMENT
"Kalau secara keekonomian, dengan harga minyak USD 60 per barel pun harga Solar dan Premium sudah tidak ekonomis lagi. Jadi beban terbesar ada di Pertamina. Siapa pun yang menang Pemili agak riskan menaikkan harga BBM," paparnya.
Sedangkan untuk sektor hulu migas nasional, Mamit menilai bahwa harga minyak di kisaran USD 70 per barel sudah cukup bagus. "Harga di atas USD 40 per barel saja sudah cukup bagus," tutupnya.