Pasar Tradisional di Jakarta Sepi Pembeli, Omzet Pedagang Turun Drastis

23 Oktober 2024 10:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sepinya Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur.  Foto: Argya D. Maheswara/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sepinya Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur. Foto: Argya D. Maheswara/kumparan
ADVERTISEMENT
Kondisi pasar tradisional di Jakarta banyak yang mengalami penurunan intensitas pengunjung yang mengakibatkan sepinya pasar. Hal tersebut juga berpengaruh pada omzet para pedagang.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pantauan kumparan di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, pada Rabu (23/10) situasi pasar bagian dalam terasa cukup sepi dan berbeda dari pasar bagian luar yang menjual berbagai bahan pangan. Yayan (52), pemilik toko gorden menyebut sudah banyak toko yang tutup utamanya toko pakaian.
Yayan juga bercerita mengenai penurunan omzetnya dari berdagang gorden di pasar. Ia pernah hanya mendapat Rp 15.000 dalam sebulan.
“Dulu ada 13 (toko gorden), masih ramai, sekarang ya karena bertahan ya gitu lah. Ini sudah parah banget sekarang, saya pernah sampai 30 hari cuma dapat Rp 15.000. Kalau sehari, seminggu enggak dapet duit mah sudah biasa,” ungkap Yayan.
Selain Yayan, kumparan juga menghampiri Andre yang sehari-harinya berdagang berbagai jenis plastik bersama sang istri. Andre mengungkapkan tokonya mulai sepi semenjak Lebaran Idul Fitri 2024. Ia juga mengalami penurunan omzet lebih dari 50 persen.
ADVERTISEMENT
“Dari semenjak lebaran (2024), drastis dari Mei. 50 persen ada ya (menurunnya). Banyak yang tutup selamanya, beberapa, situ ada, di belakang ada, jualan soto juga iya, jualan makanan enggak kuat juga dia. Sembako masih ada yang nyari sih, cuma ya tetap aja,” terang Andre.
Sri yang merupakan salah satu pedagang sembako di sana juga mengalami hal serupa. Selama berdagang di pasar sejak tahun 1988, ia menyebut tiga bulan terakhir merupakan puncak dari sepinya pengunjung.
Sepinya Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur. Foto: Argya D. Maheswara/kumparan
“Jualan di sini dari tahun 1988, bukan penurunan, drastis. Sekitar 3 bulannya, bukan berpengaruh lagi (terhadap omzet), yang ada modalnya dimakan, loh untungnya enggak ada. Bukan kurang lagi, memang merosot sejauh-jauhnya. Tadinya masih mending, selama 3 bulan ini benar-benar enggak ada pemasukan,” cerita Sri kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kumparan juga menyambangi Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Di sana, kumparan menemui Hidup yang merupakan pemilik toko kelontong. Hidup menuturkan omzetnya menurun lebih dari 50 persen dalam 5 bulan belakangan.
“Sudah lama, 5 bulan lebih, makin kesini makin sepi. Jauh lebih dari 50 persen (omzet), dulu pas COVID masih mending, ke sini-sini terus. Buka jam 6 (pagi) tutup jam 6 (sore) paling berapa orang, kurang lebih 30-40 orang cuma yang datang orang beli Rp 2.000-Rp 3.000,” ceritanya.
Selain Hidup, Ridwan yang merupakan pedagang perabot mengaku selama 2 bulan belakangan kondisi pasar memang sepi, omzet dari penjualan perabotannya pun turut turun sampai 70 persen.
“Setelah jam 12 itu sudah loss, kadang enggak ada yang lewat. Tutup sih jam 5, entar timbul-timbul abis ashar, setengah 4. Ya kerasa si bedanya. Kalau dulu sistem pasar kan kalau mau besok lebaran kan riuh tuh, nah di sini dulu begitu. Itu buat gambaran ya, cuma sekarang sangat-sangat (sepi), yang lewat juga jarang,” terang Ridwan.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Jenderal Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Reynaldi Sarijowan, menilai penurunan omzet yang dirasakan pedagang juga berkaitan dengan deflasi yang terjadi selama 5 bulan berturut-turut.
“Faktor utama terkait dengan penurunan omzet saya kira ini berdampak sekali dari angka deflasi kita ya, 5 bulan beruntun,” ungkap Reynaldi.
Reynaldi menyebut peredaran uang di masyarakat berkurang. Sehingga masyarakat juga menurunkan daya belinya.
“Tapi kami menilainya begini, peredaran uang di masyarakat ini berkurang sehingga yang terjadi orang yang biasanya belanja minyak goreng ke pasar 2 liter sekarang mengurangi daya belinya menjadi 1 liter. Nah ini yang akhirnya pedagang berupaya agar volume dagangnya tetap, namun pembelinya juga normal-normal saja, faktanya tidak begitu,” tutur Reynaldi.