Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Tren Buy Now Pay Later (BNPL) semakin digandrungi. Kemudahan dan fleksibilitasnya membuat opsi layanan pembiayaan atau pinjaman ini semakin masif digunakan masyarakat Indonesia, terutama generasi muda.
ADVERTISEMENT
Plt Kepala Departemen Literasi, Inklusi, dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, menjelaskan OJK mencatat penggunaan PayLater baik di perbankan maupun perusahaan pembiayaan (multifinance), seluruhnya mencatatkan pertumbuhan.
Per Agustus 2024, porsi produk kredit BNPL perbankan sebesar 0,24 persen, lalu terus mencatatkan pertumbuhan yang tinggi. Baki debet kredit BNPL tumbuh 40,68 persen (yoy) menjadi Rp 18,38 triliun, naik dari angka Juli 2024 sebesar 33,66 persen.
Sementara total jumlah rekening 18,95 juta, naik cukup signifikan dari bulan sebelumnya sebesar 17,90 juta. Risiko kredit untuk BNPL perbankan pun turun ke level 2,21 persen, dibandingkan Juli 2024 sebesar 2,24 persen.
Di sisi lain, pembiayaan BNPL oleh perusahaan pembiayaan, pertumbuhan pembiayaannya meningkat sebesar 89,20 persen (yoy) atau menjadi Rp 7,99 triliun, dari posisi Juli 2024 sebesar 73,55 persen (yoy). NPF gross BNPL pada Agustus 2024 sebesar 2,52 persen, lebih rendah dari bulan sebelumnya 2,82 persen.
ADVERTISEMENT
“Metode pembayaran PayLater menjadi populer di kalangan anak muda karena memudahkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari sesuai kemampuan finansial mereka,” kata Ismail saat dihubungi kumparan, Jumat (11/10).
Masifnya pengguna PayLater di kalangan generasi muda juga terlihat dari catatan Pefindo Credit Bureau (IdScore), terutama Generasi Z (Gen Z ). Pada semester I 2024, tercatat ada sekitar 38,12 juta akun yang fasilitas kredit BNPL, hampir tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah akun kartu kredit .
Kontribusi Gen Z terhadap penyaluran BNPL mencapai Rp 8,99 triliun per Juni 2024. Meskipun lebih rendah Rp 7,87 triliun dibandingkan dengan kontribusi dari generasi millennial, pertumbuhan tahunan penggunaan BNPL oleh Generasi Z mencapai 32,79 persen.
Ismail menilai, meskipun semakin marak, penggunaan PayLater harus dilakukan dengan bijak. Menurutnya, anak muda perlu mempertimbangkan apakah barang yang dibeli merupakan kebutuhan atau hanya keinginan.
“Pembelian barang konsumtif sebaiknya dilakukan dengan pembayaran tunai dan memastikan total cicilan tidak melebihi 30 persen dari pendapatan,” jelas Ismail.
ADVERTISEMENT
Ismail menegaskan penggunaan PayLater yang tidak bijak dapat menyebabkan kualitas kredit yang buruk, termasuk menjadi sulit mengajukan pinjaman di perbankan.
Berdasarkan data dari IdScore, Gen Z menggunakan BNPL untuk berbagai kebutuhan, seperti keperluan multiguna (Rp 2,4 triliun), pembelian kuota internet (Rp 1,5 triliun), perdagangan eceran (Rp 17 miliar), dan pembelian makanan di restoran (Rp 1,59 miliar).
Terdapat beberapa faktor mengapa BNPL menjadi primadona di kalangan Gen Z. Pertama, kemudahan akses dan prosesnya yang cepat, biasanya BNPL menawarkan proses pengajuan aplikasi kredit yang mudah dan cepat dengan persetujuan instan.
Faktor selanjutnya yakni fleksibilitas pembayaran, yaitu kemampuan untuk menunda pembayaran tanpa bunga dalam periode tertentu. Kemudian minim persyaratan tidak seperti kartu kredit tradisional, serta promosi dan diskon seperti cashback pembelian produk di lokapasar.
ADVERTISEMENT
Pengguna Kartu Kredit Stagnan
Selama lima tahun terakhir, IdScore mencatat tren penggunaan kartu kredit relatif stagnan di sekitar 13 juta akun, sementara BNPL menunjukkan lonjakan yang signifikan. Pada Juni 2024, BNPL memiliki total 39,72 juta fasilitas aktif dari 14,37 juta debitur dengan portofolio kredit total sebesar Rp 30,14 triliun.
Setiap debitur BNPL rata-rata memiliki tiga kontrak aktif dengan nilai pinjaman sebesar Rp 742 ribu per fasilitas kredit. Fasilitas BNPL ini berkontribusi sebesar 30,4 persen terhadap total fasilitas kredit nasional.
Ekonom Universitas Bina Nusantara (Binus), Doddy Ariefianto, menyebutkan lonjakan pada tren penggunaan BNPL adalah hal yang wajar, sebab masih terbilang baru di dunia pembiayaan.
“PayLater itu kan baru lahir, relatif ya sekitar lima tahun usianya, dibandingkan dengan kompetitornya itu kan kartu kredit dan multifinance,” kata Doddy saat dihubungi kumparan.
ADVERTISEMENT
Doddy menuturkan pertumbuhan produk baru biasanya memang fantastis di awal dan akan melandai atau stabil beberapa tahun kemudian. Dia mengakui, PayLater bisa menjadi ancaman bagi produk pembiayaan lain, seperti kartu kredit dan multifinance.
Meski demikian, menurutnya, PayLater cenderung lebih mengancam keberadaan pembiayaan multifinance daripada kartu kredit.
“Saya kurang setuju kalau kompetitornya itu kartu kredit. Saya melihat kompetitor dia adalah multifinance. Dulu kan kalau datang ke toko mesin cuci, AC, atau motor, itu kan pasti ada tuh misal ke Adira, yang personal finance,” tutur Doddy.
Doddy menilai kartu kredit sifatnya untuk menjembatani pengguna atau nasabah terhadap kebutuhan sehari-hari, alias sebagai substitusi uang tunai.
Doddy mencontohkan, saat ini sudah jarang orang yang membawa uang tunai berlebihan di dompetnya. Apalagi untuk kebutuhan transaksi jumbo, misal senilai ratusan juta, kebanyakan orang menggunakan pembayaran melalui kartu kredit.
Selain itu, dia juga menyebut kegunaan kartu kredit adalah untuk keadaan darurat, misal untuk berobat ke rumah sakit, karena limitnya yang besar. Sejauh ini, dia mengaku belum melihat PayLater umum digunakan untuk keperluan itu.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Doddy merasa BNPL tetap menjadi ancaman bagi eksistensi kartu kredit. Contohnya, saat ini masyarakat sudah lebih mudah membeli gawai dan peralatan elektronik lain melalui lokapasar dengan cicilan PayLater, apalagi ditambah dengan berbagai promo atau diskon menarik.
“Tapi tadi saya bilang, dibandingkan dengan kartu kredit, saya lihat dia lebih mengancam kepada multi finance,” tutur Doddy.
Sementara itu, Financial Planner dan Advisors Alliance Group Indonesia, Andy Nugroho, mengatakan akses PayLater yang lebih mudah daripada kartu kredit ini patut diwaspadai karena bisa bersifat seperti pisau bermata dua. Artinya berdampak positif jika dikelola dengan baik, namun bisa juga menjadi jebakan pagi penggunanya.
“Untuk bisa memiliki kartu kredit kan kita harus apply, nanti ada proses verifikasinya, ada proses filterisasinya dan tidak semua orang yang mengajukan kartu kredit tersebut akan dikabulkan,” terang Andy.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari persoalan tersebut, Andy menyarankan setiap orang bisa mengendalikan rasio utang terhadap pengeluarannya, yakni maksimal 30 persen. “Kita mesti pahami bahwa ada namanya rasio utang kita yang sehat berapa sih, maksimal 30 persen dari pengeluaran kita,” ungkap Andy.
Dengan begitu, Andy menilai baik keuntungan maupun kelemahan opsi pembiayaan itu bergantung kebijakan setiap penggunanya. Jika tidak ingin terjebak dalam sifat konsumerisme, pengguna mesti mengontrol sendiri aktivitas pembiayaannya.