Pembebasan Tanah Jadi Kendala Proyek Infrastruktur, 3 Capres-Cawapres Bisa Apa?

21 Januari 2024 12:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto memeluk Gibran Rakabuming Raka usai debat kedua calon wakil presiden Pemilu 2024 di JCC, Jakarta, Jumat (22/12/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto memeluk Gibran Rakabuming Raka usai debat kedua calon wakil presiden Pemilu 2024 di JCC, Jakarta, Jumat (22/12/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Debat keempat Pilpres 2024 akan membahas salah satunya tentang pembangunan berkelanjutan. Debat ini menjadi panggung kedua bagi para calon wakil presiden (cawapres).
ADVERTISEMENT
Selama ini, pembangunan infrastruktur di Indonesia sering kali terhambat masalah pembebasan tanah.
Pakar infrastruktur dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan biaya pembebasan tanah bisa 3 kali lipat lebih mahal dari biaya proyeknya sendiri.
"Pertama karena biaya pembebasannya bisa fluktuatif, kedua (proyeknya) terus ditunda karena pembebasan tanah biaya investasinya meningkat, karena ada faktor inflasi atau faktor kenaikan harga atau ada faktor-faktor lain," kata Yayat kepada kumparan, Minggu (21/1).
Presiden Jokowi sendiri mengakui ada 42 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang tidak selesai di eranya. PSN yang penyelesaiannya dilakukan di atas tahun 2024 itu senilai Rp 1.427,36 triliun. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan salah satu kendala paling utama adalah pembebasan tanah.
ADVERTISEMENT
"Kita berbeda dengan negara Vietnam dengan negara China di mana dengan konsep, katakanlah komunis di mana negara menguasai tanah. Artinya mudah sekali mereka melakukan percepatan pembangunan infrastruktur. Seperti China, itu luar biasa pembangunan jalan tolnya, karena pemerintah menguasai tanahnya," kata Yayat.
Faktor kenapa tanah bisa mahal, kata Yayat, adalah karena adanya oknum pemerintah yang bermain. "Banyak orang yang sebenarnya bermain di situ. Ada spekulan tanah dari kalangan pemerintah. 'Hei saya mau bangun di sini', dia beli tanah di situ duluan. Ketika proyek masuk tanah dimahalkan karena pemilik bukan masyarakat setempat, tapi yang punya kebijakan yang tahu kalau akan ada proyek di situ," tegas dia.
Yayat menambahkan, seharusnya pembangunan infrastuktur di suatu tempat dapat melibatkan masyarakat dan menjadikan nilai tambah untuk mendongkrak ekonomi mereka.
ADVERTISEMENT
"Ini tanah dimanfaatkan kentungannya kembali ke masyarakat dengan konsep konsep land value capture. Capture itu yang tidak pernah dipikirkan ke pemerintah ketika pajaknya naik, propertinya naik. Dengan adanya jalan, air bersih, pasti ada kenaikan harga tanah dan keuntungan harga tanah itu jadi kekayaannya masyarakat setempat," ujar dia.

Ketiga Paslon Bisa Apa?

Atas permasalahan yang Yayat sebutkan, dirinya berharap ketiga paslon memiliki pandangan yang sama. Pertama adalah dengan memperbaiki prosedur menentukan nilai pembabasan tanah.
"Yang paling penting dari Presiden, Calon Presiden, adalah dia paham masalah tanah apa enggak. Kedua, apa idenya yang dia lontarkan," kata Yayat.
Kemudian, Kementerian ATR/BPN memberikan kemuduahan kepada masyarakat untuk mendapatkan legalitas tanah mereka.
"Biasanya kan mentok di situ (negosiasi harga). Masyarakat minta 300, pemeirntah menawarkan 100. Di situ peran BPN untuk memeriksa semua tanah di situ, apakah 100 persen sudah sertifikat," kata Yayat.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, adalah Presiden Indonesia ke depan harus tegas menumpas oknum-oknum pertanahan. "Harus dibenahi semua, apalagi dia badan usaha. Badan usaha lebih alot lagi. Apalagi yang (jabatannya) berbintang-bintang," pungkas Yayat.