Pemerintah Bakal Kenakan Multitarif untuk PPN, Efektifkah?

13 Juli 2021 18:25 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pelaporan SPT Pajak tahunan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelaporan SPT Pajak tahunan. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah berencana merevisi skema tarif PPN dari single tarif menjadi multitarif. Revisi tersebut tercantum dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan kelima atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
ADVERTISEMENT
Adapun skema tarif PPN yang diadopsi pemerintah saat ini adalah single tarif sebesar 10 persen. Jika multitarif benar akan diberlakukan, maka pemerintah bakal mengenakan tarif PPN yang berbeda untuk setiap barang/jasa. Atas usulan ini, Dosen FEB Universitas Indonesia Christine Tjen meminta pemerintah untuk mempertimbangkan ulang skema multitarif tersebut.
“Ini perlu dipikirkan apakah benar akan menerapkan multirate atau kita back to single tarif,” ujar Christine dalam Rapat Dengar Pendapat Umum bersama Komisi XI DPR RI soal RUU KUP, Selasa (13/7).
Menurut Christine, baik single tarif ataupun multitarif masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Apabila pemerintah menerapkan single tarif, maka skema ini memiliki biaya administrasi yang ringan.
Namun skema ini dinilai membuat kepatuhan wajib pajak justru rendah. Tetapi, di sisi lain Christine mengatakan tarif tunggal dapat mempertahankan efisiensi ekonomi dan mengurangi distorsi.
ADVERTISEMENT
Sementara dengan skema multitarif, maka besaran tarif PPN akan beragam berkisar dari 5 persen hingga 25 persen. Menurut Christine skema tarif ini dapat menjamin keadilan bagi wajib pajak.
Akibatnya tingkat kepatuhan juga bisa lebih tinggi. Meski demikian skema ini membuat biaya administrasi menjadi lebih mahal. Di sisi lain, skema PPN multitarif ini juga berpotensi membuat penerimaan negara makin besar.
“Sebenernya sistem pajak multitarif ini bisa meningkatkan penerimaan pemerintah dan juga keadilan,” ujarnya.
Ilustrasi membayar pajak dengan layanan DJP online. Foto: Shutter Stock
Namun Christine menegaskan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi jika ingin skema multitarif ini berhasil meningkatkan penerimaan negara.
Pertama, mayoritas perorangan dan badan harus terdaftar sebagi wajib pajak. Kedua, skema ini membutuhkan sistem administrasi perpajakan yang cukup advance serta di-support dengan otomatisasi perpajakan.
ADVERTISEMENT
Menurut Christine apabila kondisi tersebut bisa dijalankan, maka skema multitarif bisa diterapkan dan akan berdampak positif bagi penerimaan pajak. Sayangnya perkembangan sistem pajak di Indonesia dinilai belum terlalu mumpuni. Untuk itulah Christine mengusulkan agar penerapan skema multitarif bisa dipertimbangkan kembali.
"Saya enggak tahu perkembangan sistem konteksnya DJP itu sudah sampai mana. Apakah bila kita menerapkan multirate ini apakah bisa support, supaya biaya administrasinya enggak tinggi. Harus dipertimbangkan pemerintah," ujarnya.
Sebab apabila sistemnya tidak siap, multitarif diprediksi justru akan meningkatkan inefisiensi dalam sistem perpajakan.
"Ada penelitian, multitarif VAT juga ditengarai meningkatkan inefisiensi apabila implikasinya adalah cakupan basis yang terbatas atau akibat kompleksnya dan tingginya administrasi," tandasnya.