Pemerintah dan PLN Diminta Kurangi Ketergantungan pada Batu Bara

15 Maret 2018 16:47 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gerbong kereta penuh membawa batu bara (Foto: China Daily via REUTERS)
zoom-in-whitePerbesar
Gerbong kereta penuh membawa batu bara (Foto: China Daily via REUTERS)
ADVERTISEMENT
Koalisi Break Free from Coal Indonesia berpendapat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027 masih pro terhadap energi kotor. Penilaian itu berdasarkan dari porsi bauran energi, porsi batu bara yang meningkat menjadi 54,4% dibandingkan dengan RUPTL sebelumnya yang sebesar 50,4%, kendati terdapat pemangkasan sebanyak 5.000 MW.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, aspek perencanaan RUPTL 2018-2027 juga dinilai masih terlampau ambisius. Penyebabnya, asumsi dasar dari pertumbuhan permintaan masih di angka 6,8%, angka tersebut jauh di atas realisasi pertumbuhan permintaan rata-rata 5 tahun terakhir yang berkisar di angka 4%.
Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan realisasi pertumbuhan listrik tahun lalu saja hanya sebesar 3,5%, maka itu penetapan angka 6,8% masih terlampau ambisius.
"Hal ini tentunya tidak akan membuat PLN keluar dari masalah utamanya, yaitu ancaman resiko finansial dari sistem Take or Pay dan problem overkapasitas," tutur Hindun dalam keterangan tertulis, Kamis (15/3).
Selain itu, menurut Dwi Sawung, Manager Kampanye Energi dan Perkotaan WALHI pemerintah tidak cukup dengan hanya memangkas proyek PLTU sebesar 5.000 MW, angka itu masih terlampu kecil untuk menghindari sengatan kerugian dari potensi overkapasitas di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
"Kementerian ESDM dan PLN harusnya mengeluarkan 9 proyek PLTU atau setara 13.000 MW dalam RUPTL 2018 pada sistem Jawa-Bali. Kelistrikan masih sangat bergantung pada pembangkit batu bara. Pengalaman kenaikan harga batu bara yang memukul keuangan PLN harusnya jadi pelajaran pahit akibat ketergantungan dengan energi fosil, dimasa lalu terjadi pada minyak," tegas Sawung.
Irfan Toni Herlambang dari 350.org Indonesia menambahkan, pilihan untuk tetap mengutamakan energi kotor yang kelak akan habis dibanding energi terbarukan, akan memperburuk krisis iklim. "Kesalahan perencanaan listrik tidak hanya akan merugikan uang rakyat dan negara, tapi juga membuat Indonesia tetap menjadi negara penyumbang emisi karbon PLTU yang terbesar, padahal Indonesia punya sumber daya yang tidak sedikit untuk menjadi contoh di dunia untuk mengurangi dampak perubahan iklim," katanya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Koalisi Break Free from Coal telah meluncurkan analisis singkat potensi kerugian ekonomi negara yang akan sangat besar apabila proyek-proyek raksasa PLTU batubara di pulau Jawa dan Bali tetap dilanjutkan dan mulai beroperasi.
Menilik kembali RUPTL 2017-2026, total kapasitas PLTU batu bara yang tercatat dalam dokumen tersebut mencapai sekitar 17 ribu MW. Secara aktual, realisasi pertumbuhan penjualan listrik PLN selama 5 tahun terakhir apabila dirata-rata hanya mencapai 4,4%, jauh lebih rendah dari asumsi RUPTL 2017-2026 yakni 7,2%. Dengan kondisi itu maka pada tahun 2026 diproyeksikan PLN akan mengalami surplus listrik sebesar 71%.
Berdasarkan perhitungan koalisi, terdapat 9 proyek PLTU batubara yang seharusnya dibatalkan, demi menjaga kestabilan keuangan negara dan menghindari kerugian rakyat yang lebih besar lagi. Nilai total dari pembangunan kesembilan PLTU Batubara tersebut bisa mencapai 350 triliun rupiah atau setara dengan USD 26 miliar.
ADVERTISEMENT
Proyek-proyek tersebut mencakup Jawa 9 dan 10, Jawa 6, Cirebon 2, Tanjung Jati B, Celukan Bawang 2, Jawa 5, Indramayu, Jawa 8, Tanjung Jati A. Kesembilan PLTU tersebut memiliki status yang berbeda-beda, mulai dari tahap perencanaan, tahap pengajuan izin dan tahap Purchased Power Agreement (PPA).