Pemerintah Diminta Hati-hati, Wacana Moratorium PKPU Bisa Lindungi Debitur Nakal

3 September 2021 11:27 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi mahasiswa Hukum. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa Hukum. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pemerintah diminta berhati-hati untuk menerapkan penundaan sementara atau moratorium Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan. Sebab, hal ini dinilai berpotensi melindungi 'penumpang gelap' atau debitur nakal yang sengaja mencari kesempatan tak ingin melunasi utang.
ADVERTISEMENT
Wacana moratorium PKPU itu muncul ketika Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah menerbitkan Perppu untuk moratorium gugatan PKPU dan Kepailitan. Para pengusaha tersebut mengaku keberatan pembayaran utang kepada perbankan akibat pandemi COVID-19.
Menanggapi wacana tersebut, Ahli bidang hukum kepailitan dari Universitas Airlangga Surabaya Hadi Subhan mengatakan, rencana moratorium penundaan kewajiban pembayaran dan kepailitan merupakan sebuah kemunduran.
Sebab, rencana tersebut akan berpotensi melindungi debitur yang tidak beritikad baik. Menurutnya, jika memang pelaku usaha tidak mampu membayar dapat mengajukan penundaan pembayaran karena force majeure.
“Jangan meminta moratorium, silakan dalilkan dengan pasal syarat ini dengan force majeure 1244-12 45 KUHP ini sudah ada instrumennya sudah ada praktiknya,” katanya dalam webinar Kupas Tuntas Rencana Moratorium Kepailitan dan PKPU, Jumat (3/9).
ADVERTISEMENT
Ada empat hal yang disebutkan dalam Pasal 1244-1245 KUH Perdata, yang menyebabkan debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya, yaitu hal yang tidak terduga, tidak dapat dipersalahkan kepadanya, tidak disengaja, dan tidak ada itikad buruk padanya.
Dalam penelitiannya pada tahun 2000 yang menurut Hadi tidak jauh beda dengan kondisi sekarang, terdapat ratusan ribu perusahaan Amerika Serikat (AS) yang mengajukan kepailitan setiap tahun. Belum lagi di Singapura dan Hong Kong
“Ini Indonesia yang begitu besar baru 5.00 biji. Enggak sampai 1.000 dalam satu tahun itu sudah mengatakan ini (pandemi) sebagai symptom yang membahayakan harus di-cut begitu, ini adalah pola pikir yang tidak benar dari segi teori, sistem hukum dan praktik,” jelasnya.
Menurutnya debitur nakal hanya memanfaatkan pandemi sebagai dalih karena tak ingin membayar utang. “Ini penumpang gelap, yang ini harus diminimalisir,” kata Hadi.
ADVERTISEMENT