Pemerintah Diminta Libatkan Konsumen Susun Aturan Kawasan Tanpa Rokok

17 Agustus 2022 15:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga memasang tanda kawasan tanpa asap rokok di kawasan kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta, Sabtu (9/10).  Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Warga memasang tanda kawasan tanpa asap rokok di kawasan kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta, Sabtu (9/10). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Pakta Konsumen (PK) Andi Kartala meminta pemerintah melibatkan konsumen dalam menyusun aturan kawasan tanpa rokok (KTR). Menurut Andi, selama ini pemerintah mengabaikan suara dari konsumen dalam memutuskan kebijakan tersebut, termasuk dalam tataran perda.
ADVERTISEMENT
Andi menegaskan konsumen produk tembakau memiliki tanggung jawab pada negara dalam bentuk cukai hasil tembakau (CHT) dan pajak yang disampaikan dalam PMK 192/PMK.010/2021. Menurutnya, partisipasi konsumen dalam regulasi nyaris tidak ada, dilihat dari public hearing penyusunan naskah akademik sampai sosialisasi, sehingga regulasi yang dihasilkan tidak berkeadilan dan hanya timpang di satu sisi saja.
"Sejak dilahirkan dan diterapkannya Perda KTR, konsumen tidak pernah dilibatkan. Padahal kebijakan dan regulasi tersebut secara jelas mengatur konsumen dengan sangat ketat," ujar Andi, Rabu (17/8).
Padahal, kata dia, konsumen tidak anti regulasi. Mereka bersedia diatur dan siap memenuhi kewajibannya, tetapi tidak sebanding dengan sumbangsih yang diberikan.
"Kebijakan, aturan, dan regulasi yang ditunjukkan pada konsumen produk tembakau hanya menekankan pada pelarangan bukan pembatasan," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Komisioner Ombudsman DIY, Agung Sedayu, menuturkan sesuai amanah undang-undang, pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak konsumen, serta memberikan akses kepada publik dalam perumusan regulasi sebelum aturan tersebut resmi diterapkan. Namun, pada kenyataannya hak partisipatif publik sering terabaikan. Ketimpangan antara pemenuhan kewajiban dan hak tidak boleh terjadi dalam proses penetapan hukum.
"Hak konsumen yang telah berkontribusi lewat penerimaan negara memang belum sepenuhnya terpenuhi. Pelibatan langsung hak konsumen menjadi penting dan mendesak. Tanpa inovasi kebijakan, hak konsumen ekosistem pertembakauan hanya berakhir sekadar menjadi angka. Hak konsumen telah terabaikan dibandingkan kewajiban lewat pengenaan CHT yang telah mencapai Rp 188 triliun pada tahun lalu," tuturnya.
Infografik Cuan dari Rokok. Foto: kumparan
Agung menegaskan kebijakan dan pengambilan keputusan terkait regulasi dalam ekosistem pertembakauan perlu dievaluasi dan dikoreksi. Mulai dari sisi produksi hingga konsumsi, pemenuhan hak konsumen dirasa masih kurang elok. Pemenuhan hak konsumen perlu sinergi jejaring komunikasi dan konsolidasi dari seluruh pihak, mulai dari pemerintah hingga lintas organisasi seperti Pakta Konsumen
ADVERTISEMENT
"Agregasi aspirasi konsumen yang dilakukan kali ini diharapkan bisa menjadikan Yogyakarta sebagai daerah yang progresif dalam menerapkan strategi inovasi kebijakan ekosistem pertembakauan. Komitmen terhadap pemenuhan pelayanan publik hingga ruang konsumen, bisa dilakukan secara maksimal," kata Agung.
Sementara itu, Anggota DPRD Kota Yogyakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Antonnius Fokki Ardianto, tidak memungkiri ada regulasi baik di tingkat daerah maupun pusat yang belum mengakomodir kepentingan semua pihak, termasuk hak konsumen.
Hal ini, menurut Fokki, karena masih lemahnya perjuangan kolektif suara konsumen itu sendiri. Pemerintah, lanjut Fokki, membutuhkan bukti nyata dalam bentuk data jumlah suara konsumen yang signifikan agar penyusunan regulasi dapat melindungi hak konsumen.
"Harus ada data yang representatif, yang menggambarkan kontribusi dan sumbangsih konsumen minimal per teritorial (daerah) agar konsumen punya daya tawar. Kebijakan harus disusun berdasarkan data dan fakta pendukung. Termasuk penerapan Perda KTR DIY yang berdampak pada konsumen," kata Fokki.
ADVERTISEMENT
Akademisi Universitas Sanata Dharma Antonius Budi Susilo, menuturkan bahwa lemahnya data kuantitatif dan kualitatif terkait jumlah konsumen dan produk tembakau itu sendiri membuat regulasi pengendalian tembakau semakin masif dan penuh tekanan. Dengan pendekatan masalah pembangunan, tembakau telanjur dianggap dan disudutkan sebagai komoditas yang dapat stigma negatif.
"Minimnya perhatian dan kesempatan yang diberikan pemerintah untuk mengembangkan manfaat komoditas tembakau secara saintifik, membuat tembakau mudah digilas isu kesehatan. Sehingga regulasi terkait pertembakauan yang ada hingga saat ini dikelilingi intervensi masalah kesehatan dan mengabaikan hak konsumen," ujar akademisi Universitas Sanata Dharma ini.
Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Hananto Wibisono, memaparkan peran ekosistem pertembakauan sangat signifikan dalam pembangunan negeri ini. Tidak sedikit daerah-daerah sentra tembakau yang secara nyata telah memberikan multiplier effect perekonomian bagi kawasan sekitarnya dan bagi negara.
Himbauan larangan merokok di Universitas Pamulang. Foto: Dok. Istimewa
Hananto menuturkan, ekosistem pertembakauan adalah salah satu potret realita gotong royong. Mulai dari petani, pekerja, UMKM, peritel, industri hingga konsumen. Satu regulasi dibuat yang ditujukan bagi satu elemen, maka yang terdampak adalah seluruhnya.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah jangan melihat ekosistem ini hanya sebagai satu unsur. Ada keberlangsungan 24 juta penghidupan yang bergantung pada ekosistem ini. Termasuk peran konsumen sebagai end user yang sangat penting sebagai pengguna yang taat dalam membayarkan cukai dan pajaknya melalui setiap satu batang produk yang dibeli dan dikonsumsi," ucapnya.
Hananto berharap pemerintah mulai mengarahkan pandangannya dan melibatkan konsumen dalam porsi yang bijak dalam setiap perumusan dan penerapan regulasi ekosistem pertembakauan.