Pemerintah Harus Beri Upah Layak Honorer yang Jadi Pegawai Paruh Waktu

26 Desember 2024 13:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas melantik 29 ribu PPPK Kemenag luring dan daring, Selasa (15/8). Foto: Annisa Thahira Madina/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas melantik 29 ribu PPPK Kemenag luring dan daring, Selasa (15/8). Foto: Annisa Thahira Madina/kumparan
ADVERTISEMENT
Kebijakan untuk tenaga honorer yang tidak lolos Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) diangkat menjadi pegawai paruh waktu diminta agar tetap memperhatikan aspek upah dan jaminan sosial.
ADVERTISEMENT
Pengamat ketenagakerjaan Timboel Siregar melihat kebijakan ini harus tetap memperhatikan upah pekerja paruh waktu agar tetap dapat mendapat upah secara layak.
“Yang menjadi isu penting dalam usulan adanya pekerja paruh waktu ini adalah tentang upah yang akan diberikan oleh pemerintah kepada pekerja paruh waktu ini, jangan sampai hanya sekadarnya saja. Bahwa pekerja paruh waktu memang tidak full bekerja, namun tetap mereka berhak atas penghidupan yang layak atau upah layak untuk kehidupannya,” tutur Timboel kepada kumparan, Kamis (26/12).
Ia berharap pemerintah memang memiliki anggaran untuk pekerja paruh waktu agar proses pemberian upah dapat berjalan dengan sesuai.
“Pemerintah harus benar-benar menganggarkan dana untuk pekerja paruh waktu ini, jangan sampai perlakuannya sama seperti pekerja honorer yang anggarannya tidak disediakan,” ungkapnya.
Ilustrasi PNS. Foto: wibisono.ari/Shutterstock
Timboel menjelaskan definisi pekerja paruh waktu adalah pekerja dengan jumlah jam kerja lebih sedikit daripada purnawaktu yang berarti di bawah 40 jam dalam seminggu. Maka dari itu nantinya para tenaga honorer yang menjadi pekerja paruh waktu harus dipastikan jam kerjanya agar sesuai.
ADVERTISEMENT
“Dipastikan jumlah jam bekerjanya dalam seminggu, jangan sampai disebut pekerja paruh waktu tapi bekerja 40 jam seminggu. Ini tidak tepat. Kalaupun ada kelebihan jam kerja yaitu bila lembur, mereka harus mendapatkan upah lembur dengan mengacu pada perhitungan upah lembur di swasta, agar ada keadilan untuk mereka,” lanjut Timboel.
Selain soal upah dan jam kerja, Ia juga menyarankan agar tenaga honorer yang menjadi pekerja paruh waktu juga dapat dilindungi lewat jaminan sosial kesehatan maupun ketenagakerjaan.
“Saya meminta agar pekerja paruh waktu ini pun dilindungi oleh Jaminan sosial Kesehatan di BPJS Kesehatan maupun ketenagakerjaan di BPJS Ketenagakerjaan,” saran Timboel.
Ke depan dengan adanya kementerian maupun lembaga baru maka berbagai posisi baru juga diperlukan. Timboel melihat hal ini bisa menjadi kesempatan bagi tenaga honorer yang tidak lolos seleksi PPPK untuk mengikuti tes kembali.
Ilustrasi pegawai negeri sipil (PNS). Foto: Shutterstock
“Saya nilai dengan bertambahnya Kementerian/Lembaga (K/L) tentunya akan membuka lowongan pekerjaan baru, dan oleh karenanya saya usul agar Pemerintah Pusat dan Daerah membuka kesempatan lagi bagi pekerja honorer yang gagal seleksi jadi PPPK untuk diseleksi menjadi PPPK, dengan perlakuan khusus mengingat pengabdiannya selama ini sebagai honorer,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menilai kebijakan pengangkatan tenaga honorer yang tidak lulus seleksi PPPK menjadi pegawai paruh waktu sebagai kebijakan yang membingungkan.
“Pegawai honorer yang tidak lulus PPPK akan diangkat menjadi pegawai paruh waktu. Suatu keputusan yang membingungkan. Kalau tidak lulus berarti tidak kompeten untuk penuh waktu dan paruh waktu,” jelas Payaman.
Karena itu, dia menyarankan opsi lain untuk tenaga honorer yang tidak lolos PPPK agar dapat diberi pelatihan. “Jadi yang tidak lulus boleh di training dulu supaya kompeten dan diterima atau dialihkan ke pekerjaan lain yang sesuai,” pungkasnya.