Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Pemerintah Hitung Kuota PLTS Atap untuk Kejar Kapasitas 3,6 GW di 2025
23 Februari 2024 18:12 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Revisi tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024 Tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum, yang merupakan revisi dari Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, memastikan tidak ada lagi aturan ekspor-impor listrik PLTS Atap dari pelanggan kepada PLN di aturan baru ini.
Melalui penghapusan skema net-metering, kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke PT PLN (Persero) tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurangan tagihan listrik.
Meski begitu, Dadan memastikan konsumen tetap mendapatkan keuntungan karena tidak lagi dikenakan biaya operasi paralel dan tetap mendapatkan listrik yang andal dari PLN dari sistem kuota.
ADVERTISEMENT
"Di situ ada sistem kuota ya. PLN juga punya keterbatasan dari sisi menerima listrik dari PLTS Atap. Sekarang kan (cuaca) mendung, di satu sisi PLN harus menyediakan listrik yang harus siap salur," jelasnya saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jumat (23/2).
"Dari situ, supaya tetap kualitas listrik PLN terjamin ke masyarakat, nah itu ada kuotanya. Tahun ini berapa megawatt, tahun depan berapa," lanjut Dadan.
Saat ini, kata Dadan, kuota tersebut sedang dibahas oleh Ditjen Ketenagalistrikan, Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), dan PLN.
Perhitungan kuota itu juga mempertimbangkan target pemasangan PLTS Atap di Indonesia sebesar 3,6 gigawatt (GW) di tahun 2025. Kata Dadan, realisasinya saat ini masih sekitar 80-90 MW.
ADVERTISEMENT
"Kita masih tetap ngejar ke sana. Ya kita lihat ini, karena sekarang respons dari publik kan baik, Alhamdulillah, tinggal kita dorong yang industri, komersial, itu kan skalanya besar-besar," ungkap Dadan.
Dadan menilai, PLTS Atap memang kurang menarik bagi pelanggan rumah tangga karena sudah tidak ada skema ekspor-impor dan biaya penyimpanan energi (battery energy storage) masih relatif mahal. Namun, dia memastikan tidak ada penurunan target.
"Kita tidak menurunkan target, tapi kita masih menunggu, masih membahas, masih memastikan kuota yang keluar tahun ini berapa. Karena ini nanti ada urusannya dengan keandalan sistem di PLN-nya, lagi dihitung," ujarnya.
Sebelumnya, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai peniadaan skema net-metering akan mempersulit pencapaian target Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa 3,6 GW PLTS atap, serta target energi terbarukan 23 persen pada 2025.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyebutkan dampak dari peniadaan skema ini adalah menurunnya tingkat keekonomian PLTS atap, khususnya di segmen rumah tangga yang umumnya mengalami beban puncak di malam hari.
Menurut dia, pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil akan cenderung menunda adopsi PLTS atap karena permintaan puncak listrik mereka terjadi di malam hari, sedangkan PLTS menghasilkan puncak energi di siang hari.
“Net-metering sebenarnya sebuah insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS Atap. Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2 - 3 kWp untuk konsumen kategori R1," ujarnya melalui keterangan resmi, Jumat (23/2).