Pemerintah Impor Gula 200 Ribu Ton, Mimpi Swasembada Makin Jauh

15 Februari 2025 14:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pekerja yang membawa sekam tebu saat memproduksi gula merah di sebuah industri rumah tangga di Ketol, Aceh, Senin (19/9/2022). Foto: Chaideer Mahyudin/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Para pekerja yang membawa sekam tebu saat memproduksi gula merah di sebuah industri rumah tangga di Ketol, Aceh, Senin (19/9/2022). Foto: Chaideer Mahyudin/AFP
ADVERTISEMENT
Pemerintah kembali membuka keran impor gula sebanyak 200.000 ton gula mentah (raw sugar) sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan kelangkaan pasokan menjelang Ramadan dan Idulfitri. Keputusan ini memicu pertanyaan mengenai ketahanan pangan nasional, khususnya terkait dengan target swasembada gula yang sempat digembar-gemborkan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Meski sejak tahun lalu wacana swasembada pangan, termasuk gula, terus digaungkan, kenyataannya Indonesia masih sangat bergantung pada impor. Hingga saat ini, sekitar 64 persen kebutuhan gula nasional masih dipenuhi dari luar negeri.
Ekonom Spesialisasi Pertanian dan Industri dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menjelaskan Indonesia masih jauh dari status swasembada, terutama jika merujuk pada definisi yang digunakan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).
"Dikatakan swasembada itu kalau mengacu kepada definisi FAO itu jika 90 persen kebutuhan dalam negeri dipenuhi dari domestik. Artinya, kita belum swasembada," kata Eliza kepada kumparan, Sabtu (15/2).
Upaya mencapai swasembada, kata Eliza, tidak bisa dilakukan secara instan. Indonesia membutuhkan bauran kebijakan yang tepat agar ketergantungan pada impor dapat dikurangi tanpa mengguncang stabilitas industri gula dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Salah satu tantangan utama dalam mewujudkan swasembada gula adalah rendahnya produktivitas tebu di Indonesia. Tingkat rendemen, jumlah gula yang dihasilkan dari proses penggilingan tebu di Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Thailand.
Pedagang menyusun bungkusan gula di Pasar Senen, Jakarta, Selasa (21/4). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
"Tingkat rendemen Indonesia hanya sekitar 7 persen, sementara Thailand itu 11,82 persen. Maksudnya, jika rendemen tebu 7 persen, artinya dari 100 kg tebu yang digiling di pabrik gula akan menghasilkan gula sebanyak 7 kg. Nah, Thailand rendemennya 11,82 berarti menghasilkan gulanya kurang lebih 11,82 kg," jelasnya.
Rendahnya rendemen ini disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah teknologi pengolahan yang masih tertinggal.
Eliza menyebut, banyak pabrik gula di Indonesia masih menggunakan mesin tua yang usianya bahkan lebih dari 100 tahun, peninggalan sejak zaman kolonial Belanda. Akibatnya, proses produksi menjadi kurang efisien dan hasil yang diperoleh tidak optimal.
ADVERTISEMENT
"Rendahnya rendemen Indonesia ini karena banyak pabrik-pabrik gula yang mesinnya sudah tua, bahkan ada yang lebih dari 100 tahun usianya. Jadi memang perlu direvitalisasi jika ingin meningkatkan produksi gula, tidak hanya meningkatkan produktivitas tebu, namun juga meningkatkan tingkat rendemennya," ungkap Eliza.
Selain itu, pendekatan kebijakan yang berfokus pada perluasan lahan tebu saja dinilai tidak cukup untuk mewujudkan swasembada. Pengembangan riset dan inovasi di sektor industri gula menjadi hal yang mendesak agar produktivitas dapat meningkat secara signifikan.
Pemerintah juga perlu melakukan revitalisasi pabrik gula agar mesin-mesin yang sudah usang dapat digantikan dengan teknologi yang lebih modern.
Peningkatan produksi gula juga bisa dilakukan dengan memberikan insentif bagi industri gula, khususnya pabrik gula kristal putih, agar mereka memiliki akses terhadap fasilitas kredit yang lebih fleksibel.
ADVERTISEMENT
Eliza menyebutkan, idealnya kredit gula bersifat multi-years dengan minimal jangka waktu dua tahun agar industri dapat berkembang lebih optimal.
Di sisi lain, upaya peningkatan produktivitas tebu juga harus diperhatikan dengan memberikan dukungan terhadap petani. Termasuk melalui penyediaan pupuk khusus yang dapat meningkatkan hasil panen.
Eliza menegaskan, swasembada gula bukan sekadar target jangka pendek. Melainkan harus berorientasi pada keberlanjutan dan keadilan bagi seluruh pelaku industri, termasuk petani tebu.
Menurutnya, tantangan dalam meningkatkan produksi tebu semakin kompleks dengan adanya perubahan iklim, persaingan lahan, serta kontestasi antara pangan dan energi. Oleh karena itu, diperlukan strategi kebijakan yang menyeluruh dan menyentuh akar persoalan.
"Swasembada pangan yang berkelanjutan dan berkeadilan itu penting. Karena meningkatkan produksi tebu di tengah perubahan iklim, kontestasi lahan, dan persaingan antara food vs fuel ini semakin kompleks, sehingga memang membutuhkan waktu dan strategi kebijakan yang komprehensif dan menyentuh akar persoalan," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi di Kantor Kemenko Perekonomian, Senin (16/12/2024). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
Jika strategi yang diambil tepat, bukan tidak mungkin Indonesia bisa mencapai swasembada gula sebelum 2045, tepat saat negeri ini merayakan 100 tahun kemerdekaan. Namun, tanpa langkah nyata dalam revitalisasi industri dan peningkatan produktivitas, target tersebut masih akan tetap menjadi wacana semata.
Sebelumnya, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengungkapkan, keputusan impor diambil untuk menambah stok cadangan pangan pemerintah. Ia menegaskan, impor ini bukan karena produksi dalam negeri tidak mencukupi, melainkan sebagai langkah antisipasi agar stok tetap aman.
"Iya tadi surat untuk rapat ini dari Kementerian Pertanian (untuk peningkatan cadangan gula pemerintah,” kata Arief kepada wartawan di Graha Mandiri, Rabu (12/2).
“Cadangan pangan pemerintah ini perlu karena harga gula, tadi dilaporkan oleh BPS itu harganya mulai bergerak naik. Kalau dilihat kontribusi inflasinya 1,4 persen, kalau dilihat tadi di statistik," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Arief mencatat, saat ini, kebutuhan gula nasional berkisar antara 230 ribu hingga 300 ribu ton per bulan, sementara produksi domestik masih cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut.