Pemerintah Mau Bagi-bagi Kompor Listrik, Apa Sih Untungnya?

18 Januari 2021 8:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lomba masak dengan kompor induksi PT PLN. Foto: Selfy Sandra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Lomba masak dengan kompor induksi PT PLN. Foto: Selfy Sandra/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah tengah berencana membagi-bagikan kompor listrik untuk meningkatkan penjualan listrik PLN yang saat ini turun. Rencana ini juga bertujuan memangkas impor dan subsidi Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram (kg).
ADVERTISEMENT
Pembagian kompor listrik ini direncanakan dalam bentuk paket perdana seperti saat konversi minyak tanah ke LPG berisi kompor, selang, hingga regulatornya. Meski begitu, pemerintah belum menyebut siapa saja masyarakat yang mendapatkan kompor listrik ini.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengakui masyarakat banyak yang masih khawatir menggunakan kompor listrik karena takut nyetrum, kemudian harus membeli peralatan masak baru dan cemas tagihan listrik membengkak. Karena itu, kajian pemberian paket kompor induksi ini agar masyarakat tidak khawatir dan mau beralih ke listrik ketika memasak.
"Konsep itu lagi kita godok. Kita lagi hitung berapa kira-kira kalau ada campur tangan APBN dan benefitnya berapa karena kompor induksi kan bisa kurangi belanja impor LPG. Ini masih dikaji," kata Rida dalam konferensi pers Kinerja Ketenagalistrikan 2020, Rabu (13/1).
ADVERTISEMENT

Orang Kaya Dapat Kompor Listrik Gratis?

Hanya saja, belum jelas kelompok masyarakat mana yang akan mendapatkan paket perdana ini jika rencana tersebut terealisasi. Jika meniru konversi minyak tanah ke LPG, maka masyarakat miskin yang mendapatkan kompor listrik gratis ini.
Tapi, apakah daya listrik pelanggan subsidi 450 VA dan 900 VA kuat memasak pakai kompor listrik? Atau kompor listrik dibagikan ke ke pelanggan 1.300 VA ke atas yang artinya mensubsidi orang kaya?
Penggunaan kompor listrik di China. Foto: Feby Dwi Sutianto/kumparan
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai rencana bagi-bagi kompor listrik menjadi sebuah dilema. Sebab, bagi pelanggan subsidi 450 VA dan 900 VA akan kaget dengan tagihan listriknya yang berpotensi naik. Selain itu, kemungkinan harus membeli alat-alat masak baru yang terbilang mahal.
ADVERTISEMENT
"Jangan-jangan kompor dibagikan (ke masyarakat miskin) tapi nanti tidak digunakan? Akhirnya jadi tidak berguna dan buang-buang anggaran pemerintah," kata Fabby saat dihubungi kumparan, Minggu (17/1).
Dia menilai, kalau pun rencana ini direalisasikan, lebih cocok dibagikan ke pelanggan 900 VA RTM (rumah tangga mampu) atau nonsubsidi. Tapi, itu pun harus migrasi ke daya listrik 2.200 VA sebab untuk menggunakan kompor induksi, daya listrik minimal 2.200 VA untuk 1 kompor.
Sementara itu, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi, berpendapat pembagian kompor listrik perlu segmentasi kompor listrik untuk pelanggan 450-900 VA, 1.300 VA, dan pelanggan 2.200 VA ke atas, yang daya listrik disesuaikan dengan masing-masing kapasitas listrik.
Menurut dia, tidak masalah orang kaya mendapatkan kompor listrik gratis ini karena tujuannya untuk mengurangi subsidi gas melon (LPG 3 kg), penggunaan kompor ramah lingkungan, dan mengatasi pasokan listrik PLN yang berlebih.
ADVERTISEMENT
"Ada kepentingan lebih besar dalam migrasi ke kompor listrik, utamanya pencapaian ketiga tujuan, sehingga dimungkinkan subsidi untuk pelanggan 1.300 VA," kata Fahmy kepada kumparan.

Kompor Listrik Lebih Hemat dari LPG, Tapi Tak Terjangkau Orang Miskin

Perluasan penggunaan kompor listrik ini pernah dicetuskan pada 2017 oleh Ignasius Jonan yang kala itu merupakan Menteri ESDM. Jonan menyebut kompor listrik jauh lebih hemat dibanding kompor gas. Menurut hitungannya, biaya pemakaian kompor listrik hanya sekitar 50-60 persen kompor gas.
Fabby Tumiwa mengungkapkan, memasak dengan kompor listrik memang relatif murah. Tapi harga kompor listrik jauh lebih mahal dibanding kompor gas, sekitar Rp 600 ribu sampai kisaran Rp 1 juta. Sedangkan kompor gas harganya di bawah Rp 500 ribu.
ADVERTISEMENT
"Dibanding pakai LPG memang lebih efisien. Tapi coba cari kompor listrik, harganya Rp 600 ribu sampai Rp 1 juta-an. Kalau sasarannya orang miskin, mereka enggak bisa beli," ucap Fabby.
Penggunaan kompor listrik di China. Foto: Feby Dwi Sutianto/kumparan
Selain itu, kompor listrik yang kualitasnya bagus membutuhkan daya 800 Watt sampai 1.600 Watt. Tentu hanya rumah-rumah yang berlangganan listrik di atas 1.300 VA yang bisa memakainya.
Sementara pengguna LPG 3 kg umumnya adalah kelas menengah bawah dan miskin. Mereka adalah pelanggan listrik rumah tangga 450 VA atau 900 VA yang disubsidi.
"Biasanya kompor listrik butuh Watt tinggi. Memang ada yang 300-400 Watt, tapi yang bisa masak cepat 800-1.600 Watt," paparnya.

Kurangi PLTU dan Atur Ketat Distribusi LPG 3 Kg

Menurut Fabby, seharusnya negara memerintahkan PLN untuk mengurangi kontrak pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan renegosiasi take or pay dari PLTU yang beroperasi agar pasokannya tidak berlebih di tengah lesunya konsumsi listrik akibat terbatasnya aktivitas masyarakat. Saat ini, produksi batu bara mayoritas berasal dari PLTU.
ADVERTISEMENT
"Kenapa masyarakat yang justru harus berjibaku menyelamatkan kondisi PLN? Kenapa kita yang jadi pusing. PLN yang perlu memikirkan solusinya," kata Fabby.
Selain kurangi PLTU, pemerintah juga diminta membuat kebijakan harga energi yang terintegrasi. Atur dan kendalikan distribusi dan subsidi LPG 3 kg, dengan demikian rumah tangga kelas menengah akan melihat alternatif energi lain untuk memasak, yaitu listrik.
Solusi lain memangkas subsidi LPG 3 kg bukan menggantinya dengan kompor listrik, tapi membuat subsidi LPG 3 kg benar-benar tepat sasaran untuk masyarakat miskin dan tidak mampu.
"Solusinya bukan kompor listrik, tapi pengendalian subsidi LPG 3 kg. Subsidi LPG tertutup agar tepat sasaran sudah dibahas sejak 2013 tapi sampai sekarang belum terealisasi," tutupnya.
ADVERTISEMENT