Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Pemerintah Pastikan Hilirisasi Nikel Tetap Lanjut Meski LG Hengkang
24 April 2025 10:33 WIB
·
waktu baca 2 menit
ADVERTISEMENT
Perusahaan raksasa teknologi asal Korea Selatan LG menarik investasinya senilai Rp 129,9 triliun dari proyek pengembangan rantai pasok baterai kendaraan listrik (EV) terintegrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Deputi Kemenko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK) Rachmat Kaimuddin menilai kabar tersebut tak akan mengganggu berjalannya hilirisasi khususnya untuk nikel.
“Harusnya sih enggak apa-apa. Hilirisasi kita terus berlanjut,” kata ditemui di Pakarti Centre, Jakarta Pusat pada Kamis (24/4).
Rachmat menyebut pemerintah akan mempelajari potensi-potensi dari produsen baterai lain yang memiliki potensi untuk mengembangkan rantai pasok baterai EV terintegrasi di Indonesia.
“Jadi untuk LG, menurut saya itu keputusan bisnisnya sendiri. Kalau saya sih nggak terlalu worry,” ujarnya.
Saat ini, posisi LG digantikan oleh perusahaan asal China, Zhejiang Huayou Cobalt, yang masuk menggantikan LG.
LG awalnya bergabung dalam megaproyek pengembangan rantai pasok baterai EV mulai dari dari pertambangan, pabrik nickel matte, prekursor, katoda, anoda, sel baterai, hingga daur ulang baterai.
Hal ini terbagi ke dalam 4 joint venture (JV), di mana LG sudah merealisasikan JV nomor 4 dengan investasi senilai USD 1,1 miliar.
ADVERTISEMENT
Untuk target Indonesia sebagai hub produksi EV Rachmat optimis Indonesia dapat mencapainya dalam waktu dekat. Menurutnya kapasitas produksi kendaraan listrik di dalam negeri sudah cukup banyak.
“Kita (kapasitas) produksi sekitar 1,4 juta (EV). Itu kan berarti kita sudah punya kemampuan. Kita punya infrastrukturnya, kita punya supply chainnya,” kata Rachmat.
Selain manufaktur, Rachmat juga melihat penggunaan EV di dalam negeri cukup penting dalam langkah swasembada energi.
“Karena kita import 60 persen minyak. Jadi untuk BBM kita import banyak.
Kalau kita shift ke elektrik, semua electricity itu bikinnya dari lokal domestic energy,” ujarnya.