Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Pemerintah Sangat Mungkin Tunda PPN 12% Lewat Cara Ini, tapi Tak Juga Dilakukan
19 November 2024 12:19 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
"Jika ditanya, bisa nggak sih pemerintah menunda PPN 12 persen? Jawabannya jelas bisa. Norma hukum positif di Indonesia memungkinkan pemerintah menunda kebijakan PPN 12 persen," ujar Prianto kepada kumparan, Selasa (19/11).
Untuk cara pertama, pemerintah menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) sesuai Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
"Ketentuan lebih rinci tentang Perppu ada di UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). UU P3 tersebut merupakan amanat dari Pasal 22A UUD 1945. Secara eksplisit Pasal 1 angka 4 UU P3 juga menyatakan bahwa Perppu dapat ditetapkan oleh Presiden ketika ada hal ihwal kegentingan yang memaksa," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Namun Prianto menjelaskan, penggunaan instrumen hukum berupa Perppu sangat ditentukan oleh kondisi dan kebutuhan yang memerlukan peraturan karena sifatnya mendesak. Kondisi tersebut terjadi ketika aturan hukumnya belum ada atau hukum yang ada tidak mampu lagi mengakomodasi kepentingan penyelenggaraan pemerintahan negara.
Berdasarkan pengalaman terkait penerbitan Perppu, ada tiga aspek yang dianggap sebagai kegentingan yang memaksa, yaitu pertama, ancaman yang membahayakan; kedua, unsur kebutuhan yang mengharuskan; dan ketiga, unsur keterbatasan waktu.
"Dari aspek kedua dan ketiga tersebut, Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPN (hasil revisi UU HPP) yang mengatur perubahan tarif PPN menjadi 12 persen mulai 2025 dapat direvisi dengan Perppu," kata dia.
Untuk cara kedua, pemerintah sebenarnya dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait dengan perubahan tarif PPN di 2025. Acuan hukumnya ada di Pasal 7 ayat (4) UU PPN. Pengajuan RPP tersebut bersamaan dengan RUU APBN 2025, sehingga pembahasan kedua rancangan peraturan tersebut dibahas bersamaan antara pemerintah dan DPR.
ADVERTISEMENT
Sesuai pasal 7 ayat (3) UU PPN, tarif PPN dapat diubah melalui PP dengan batasan minimal 5 persen dan maksimal 15 persen. Pada kenyataannya, ketika APBN 2025 disahkan, pemerintah tidak mengajukan RPP tentang perubahan tarif PPN. Dengan demikian, pemerintah dan DPR bersepakat untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen di 2025.
Jika cara kedua di atas akan ditempuh, maka pemerintah kembali mengajukan RUU APBN 2025 Perubahan beserta RPP tentang perubahan tarif. Untuk selanjutnya, DPR dan pemerintah kembali akan membahas kedua norma hukum tersebut.
"Pada saat sekarang ini, political will (kemauan politik) pemerintah masih ditunggu oleh masyarakat," tambah Prianto.
Untuk cara ketiga, pemerintah dapat menerapkan cara normal dengan pembuatan Naskah Akademik dan RUU PPN, yang merevisi UU PPN hasil revisi terakhir oleh UU HPP. Tapi, proses ini akan memakan waktu lebih banyak dari kedua cara pertama di atas, sementara berdasarkan beleid UU HPP, penerapan PPN 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapi pernyataan dari Anggota Komisi XI Fraksi PKS Muhammad Kholid mengenai kepastian kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen di 2025.
Dalam rapat tersebut, Kholid menilai keputusan PPN 12 persen di 2025 akan memukul daya beli masyarakat. Meski demikian, Sri Mulyani menyatakan kebijakan PPN 12 persen di 2025 ini akan dijalankan, namun perlu persiapan yang matang.
"Jadi kami di sini sudah dibahas dengan bapak-ibu sekalian, sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik," kata Sri Mulyani.
Kebijakan terkait dengan peraturan perpajakan yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sudah dilakukan pembahasan bersama Komisi XI DPR sebelumnya.
ADVERTISEMENT