Pemerintah Susun Aturan Turunan Pengenaan Pajak Karbon di PLTU dan Pembelian BBM

23 Juli 2024 15:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi SPBU Pertamina. Foto: Dok. Pertamina
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi SPBU Pertamina. Foto: Dok. Pertamina
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kemenko Bidang Perekonomian mengatakan kebijakan pajak karbon sesuai dengan peta jalan yang sedang disusun dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) akan menyasar pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) fosil.
ADVERTISEMENT
Deputi III Bidang Pengembangan Usaha dan BUMN Riset Inovasi Kemenko Perekonomian, Elen Setiadi, mengatakan pembahasan RPP Peta Jalan Pajak Karbon masih berlangsung.
Pada tahap awal, kata dia, Peta Jalan diusulkan hanya mengatur penerapan pajak karbon bagi subsektor pembangkit listrik, menyesuaikan dengan peta jalan perdagangan karbon. Saat ini terdapat 146 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi peserta perdagangan karbon subsektor pembangkit listrik di tahun ini.
"Selanjutnya fase kedua akan ditambah dengan pengenaan terhadap pembelian bahan bakar fosil untuk sektor transportasi," ungkap Elen saat Webinar Perdagangan dan Bursa Karbon, Selasa (23/7).
Elen menuturkan, pengenaan pajak karbon terhadap dua subsektor ini diharapkan dapat mencakup sekitar 71 persen jumlah emisi dari sektor energi, yakni 48 persen dari sektor pembangkit dan 23 persen dari transportasi atau 47 persen dari emisi di Indonesia selain dari FOLU (Forest and Other Land Use).
ADVERTISEMENT
Selain itu, lanjut Elen, penerapan ekonomi hijau secara jangka panjang diproyeksikan membawa manfaat menstabilkan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6,22 persen hingga 2045 dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 86 juta ton CO2 ekuivalen, serta menciptakan hingga 4,4 juta lapangan pekerjaan baru.
Sementara itu, Direktur Pengawasan Bursa Karbon OJK Lufaldy Ernanda menuturkan pihaknya juga sedang menunggu peraturan lanjutan untuk implementasi terkait pajak karbon. Nantinya, aturan ini akan dikeluarkan Menteri Keuangan.
"Diskusinya sih sampai saat ini kami sudah sering terundang sebagai narasumber juga dalam implementasi pajak karbon, kami paham bahwa ini sesuatu yang tidak mudah, karena perlu diingat karena berbicara pajak yang sifatnya banyak instrumennya," tuturnya.
Lufaldy melanjutkan, pajak karbon merupakan kebijakan yang sangat baru di Indonesia dan berpotensi memengaruhi laju inflasi.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kata dia, penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di Indonesia terbilang paling rumit di dunia, sebab instrumennya mencakup cap, trade, dan tax.
Dia mencontohkan, pemerintah Singapura hanya mengatur pajak karbon untuk para emiter, namun tidak menetapkan batas (cap) emisi dan perdagangannya (trade) yang dilaksanakan secara sukarela (voluntary). Sementara Uni Eropa tidak menetapkan pajak karbon.
"Indonesia memilih paling kompleks di dunia, jadi ada cap, trade, dan tax, ada 3 instrumen ekosistem secara keseluruhan dan kita so far cap-nya sudah ada di subsektor pembangkit listrik, trade sudah ada di bursa karbon, dan tax on going jadi masih ada beberapa link harus dikembangkan," pungkas Lufaldy.
Sebelumnya, pemerintah berencana menerapkan pajak karbon sejak 1 April 2022 sesuai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, rencana ini terus mundur.
ADVERTISEMENT
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah belum menerapkan pajak karbon pada 2025. Sebab, skema pengenaannya juga masih digodok.
Tak hanya itu, Airlangga juga menyebut Eropa baru akan mengenakan pajak karbon di 2026. "Belum (2025). Di Eropa 2026, di Indonesia menjelang 2026," ujar Airlangga di Istana Negara, Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Dia menjelaskan, pajak karbon dibutuhkan untuk mengantisipasi Carbon Border Adjusted Mechanism (CBAM) yang baru diberlakukan di Eropa pada 2026.
CBAM merupakan pengurangan emisi karbon yang diterapkan Uni Eropa dengan menambah tarif atau pajak bea masuk terhadap barang impor ke Benua Biru. CBAM meliputi lima produk utama, termasuk besi dan baja sebagai salah satu komoditas unggulan Indonesia di pasar Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
"Nanti kita akan lihat regulasinya akan dilengkapi, karena salah satunya Eropa akan menerapkan CBAM di tahun 2026, 2024 mereka akan sosialisasi. Artinya industri kita harus siap untuk menjadi basis energinya hijau, dan juga industrinya menjadi industri bersih dan itu perlu ada investasi," jelasnya.