Pemerintah Tawarkan Rp 550 T ke AS, Ekonom Khawatir Neraca Dagang RI Tertekan
6 Juli 2025 12:57 WIB
·
waktu baca 4 menitPemerintah Tawarkan Rp 550 T ke AS, Ekonom Khawatir Neraca Dagang RI Tertekan
Pemerintah tawarkan Rp 550 triliun ke AS untuk negosisasi tarif, ekonom khawatir neraca perdagangan Indonesia akan tertekan. kumparanBISNIS



ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia menawarkan untuk membeli sejumlah komoditas dari Amerika Serikat (AS) atau impor senilai USD 34 miliar atau sekitar Rp 550 triliun (kurs Rp 16.185 per dolar AS) sebagai negosiasi tarif. Pemerintah juga berharap agar Presiden AS Donald Trump memangkas tarif resiprokal bagi Indonesia menjadi 0 persen, dari semula 32 persen.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, ekonomi menilai penawaran impor untuk AS, pada sektor pertanian dan energi itu, akan menekan neraca perdagangan Indonesia secara keseluruhan. Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, melihat langkah Indonesia tersebut terlalu prematur, karena poin-poin kesepakatan tarif masih dibahas.
“Dengan melakukan impor lebih dulu ini khawatir akan langsung menekan neraca perdagangan ya. Terutama situasi sekarang kan importasi itu sebenarnya harus secara rasional satu sesuai dengan kebutuhan,” kata Bhima kepada kumparan, Minggu (6/7).
Bhima mewanti-wanti agar pemerintah dapat menghitung dan membuat pertimbangkan utamanya soal harga jika keputusan impor adalah langkah yang diambil untuk negosiasi tarif. Apakah dengan langkah ini, harga barang yang ditawarkan dapat lebih murah dari pada supplier atau pemain yang sudah ada atau justru lebih mahal, semua harus dihitung menurut Bhima.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalau ada selisih harga ternyata produk impor Amerika baik energi maupun agrikultur, pertanian lebih mahal maka ini pun juga akan menjadi beban dari subsidi energi, subsidi pertanian. Itu justru akan merugikan. Petaninya rugi kemudian APBN-nya akan lebih lebar defisitnya jadi harus ada kalkulasi ke sana,” ujarnya.
Ia juga berpesan agar sebaiknya Indonesia berfokus kepada negosiasi terlebih dahulu sebelum membuat keputusan untuk membuka impor yang lebih besar dari AS dengan harga yang diperkirakan dapat lebih mahal.
Terkait impor, nantinya sektor energi mendapat alokasi khusus sebesar USD 15,5 miliar dari total USD 34 miliar tersebut. Selain impor, implementasi lain dari USD 4 miliar tersebut adalah dengan investasi melalui BUMN dan Danantara.
ADVERTISEMENT
Nantinya kesepakatan terkait penambahan impor tersebut akan diimplementasikan dalam penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dengan AS pada 7 Juli mendatang.
“Jangan prematur nanti begitu sudah impor sudah MoU ternyata pada waktu tarif kita masih dikenakan tarif yang tinggi bagaimana? Nah ini kan juga merugikan Indonesia dua kali berarti,” kata Bhima.
Di sisi lain, ekonomi CORE, Yusuf Rendy Manilet, melihat AS bisa saja memandang penambahan nilai impor ini sebagai bahan ‘tawar’ agar Indonesia mendapat tarif yang rendah. Cara ini juga mirip dengan pendekatan yang digunakan China dan Jepang dalam negosiasi bilateralnya.
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa saat ini Trump tak hanya mempertimbangkan penambahan nilai impor untuk menutup defisit dagang, melainkan isu struktural seperti standar tenaga kerja, kepatuhan lingkungan, dan keamanan rantai pasok.
ADVERTISEMENT
“Jadi, meskipun MoU ini membantu, belum tentu otomatis menghapuskan rencana tarif, apalagi jika Indonesia belum secara menyeluruh dianggap memenuhi standardisasi non-tarif AS,” kata Yusuf.
Mengenai target Indonesia agar tarif AS ke kita bisa lebih rendah dari Vietnam yang dikenai tarif sekitar 20 persen di beberapa produk, Yusuf melihat ini sebagai harapan yang cukup ambisius, tetapi tidak sepenuhnya tidak realistis.
Hal ini karena Vietnam berbeda dengan Indonesia di mana negara tersebut memiliki posisi strategis dalam rantai pasok global AS terutama untuk barang elektronik dan garmen. Selain itu Vietnam juga mendapat keuntungan dari sejumlah perjanjian dagang yang belum dimiliki Indonesia
“Maka, untuk Indonesia bisa mendapatkan tarif yang lebih rendah dari Vietnam, perlu ada lebih dari sekadar MoU, harus ada perjanjian dagang yang mengikat, seperti FTA bilateral atau keanggotaan di pilar-pilar kunci seperti Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) pilar perdagangan,” ujar Yusuf.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu untuk proyeksi tarif final Yusuf melihat bisa saja lebih rendah namun tak menutup kemungkinan untuk bisa lebih tinggi ketimbang Vietnam bergantung jenis produk yang diperdagangkan.
“Untuk produk padat karya seperti tekstil atau alas kaki, jika tidak ada kesepakatan tambahan, kita bisa terkena tarif MFN standar AS yang berkisar antara 11–32 persen, bergantung jenis produknya,” katanya.