Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
Pemerintah diminta segera merevisi aturan yang membuat harga rokok masih lebih murah. Meskipun saat ini tarif cukai hasil tembakau sudah dinaikan 12,5 persen.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Bea Cukai saat ini memungkinkan harga jual rokok 85 persen di bawah banderol pita cukai atau Harga Jual Eceran (HJE) yang telah ditetapkan pemerintah. Hal itu tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai Nomor 37 Nomor 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Tembakau.
Aturan itu merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Ketentuan yang memperbolehkan diskon harga rokok itu pun tidak diubah, bahkan ketika PMK 146/207 telah direvisi menjadi PMK Nomor 156 Tahun 2018.
Dalam Perdirjen Bea Cukai 37/2017, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen, boleh 85 persen di bawah harga jual eceran (HJE) atau banderol yang tercantum dalam pita cukai. Hal ini boleh dilakukan, asal tidak lebih dari 40 kota yang disurvei oleh kantor Bea Cukai.
ADVERTISEMENT
Peneliti dari Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan, Adi Musharianto, mengatakan bahwa Perdirjen Bea Cukai itu kontradiksi dengan pemerintah yang ingin menurunkan konsumsi rokok. DIa meminta aturan itu direvisi, yakni kelonggaran di 40 kota atau area tersebut seharusnya bisa dipersempit untuk mengendalikan konsumsi rokok.
"Dari awal kami sudah lihat ada kontradiksi antara PMK dan Perdirjen terkait memperbolehkan HTP di bawah 85 persen. Saya sepakat bisalah ya penjualan di 40 kota dilakukan perubahan, intinya perlu ada peninjauan atau evaluasi," ujar Adi kepada kumparan, Selasa (30/3).
Analis Kebijakan Madya Kedeputian Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK, Rama Prima Syahti Fauzi, juga mendukung adanya tinjauan dan evaluasi atas pengecualian 40 area tersebut.
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan dampak dari tidak sesuainya HTP dengan HJE menyebabkan harga rokok tetap terjangkau, sehingga pengendalian konsumsi tidak optimal untuk menurunkan prevalensi merokok.
"Harusnya memang dibarengi dengan sanksi kalau ada perusahaan menerapkan penjualan kurang dari 85 persen. Sanksinya harus diperjelas dan dipertegas, memang harus diperketat untuk menghindari predatory pricing juga," kata Rama.
Rama pun merekomendasikan pengecualian wilayah untuk penjualan rokok di bawah 85 persen HJE sebaiknya diperkecil. "Selain itu, tidak akan efektif kalau tidak ada sanksinya bagi perusahaan yang melanggar, maka pengawasan harus dipertegas," kata dia.
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia (UI), Risky Kusuma Hartono, mengatakan bahwa pihaknya mengapresiasi pemerintah yang mengimplementasikan batasan 85 persen HJE sejak 2017.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif itu, aturan tersebut dinilai dapat mengurangi tingkat keterjangkauan rokok, karena produsen tidak diizinkan menjual rokok dengan harga yang terlampau murah di bawah beleid HJE. Namun menurutnya, pengawasannya bisa dilakukan lebih masif dan serius.
“Maka upaya yang perlu dilakukan adalah menurunkan prevalensi, caranya meningkatkan HJE minimum, meningkatkan CHT, dan simplifikasi struktur CHT,” ujarnya.
Merespons hal tersebut, Analis Kebijakan Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Wawan Juswanto, mengatakan bahwa pemerintah terus berupaya mencapai target penurunan prevalensi merokok anak yang tercantum di RPJMN 2020-2024.
Menurut Wawan, kebijakan harga transaksi pasar dengan pengaturan batasan penjualan rokok 85 persen dari harga jual eceran (HJE) bertujuan agar tak ada lagi produsen yang menjual rokok terlalu murah di pasaran.
ADVERTISEMENT
“Selain itu juga agar ada persaingan sehat pada perusahaan, yaitu untuk menghindari predatory pricing oleh perusahaan besar terhadap pabrik golongan menengah dan bawah,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, belum memberikan tanggapan mengenai revisi Perdirjen tersebut.
Kenaikan cukai hasil tembakau atau rokok sebesar rata-rata 12,5 persen di awal Februari 2021 telah berdampak pada penurunan produksi rokok. Selama bulan lalu, produksi rokok turun signifikan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, produksi rokok selama Februari 2021 hanya 13,77 miliar batang. Angka ini turun 45,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 25,3 miliar batang.
“Terjadi penurunan produksi 45,6 persen akibat berlakunya tarif cukai hasil tembakau per 1 Februari 2021. Memang ini sesuai dengan keinginan untuk mengendalikan produksi hasil tembakau, namun penerimaan negara tetap terjaga," ujar Sri Mulyani saat konferensi pers APBN Kita, Selasa (23/3).
ADVERTISEMENT
Dari sisi penerimaan, realisasi penerimaan cukai rokok mencapai Rp 27,44 triliun per akhir Februari 2021. Angka ini tumbuh 50,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Realisasi tersebut mencapai 15,79 persen dari target cukai hasil tembakau tahun ini yang sebesar Rp 173,78 triliun.