Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Penerapan Bea Masuk Anti-Dumping Berpotensi Mendapat Balasan Negara Importir
27 Juli 2024 15:27 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Indonesia bisa saja kembali dilaporkan ke organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO), seperti saat Indonesia dengan tegas menghentikan ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020 lalu.
Kepala Pusat Industri,Perdagangan dan Investasi di The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho menuturkan, dalam sidang perdagangan antar negara yang digelar di WTO Indonesia sering kali kalah.
Oleh karena itu, ia mengusulkan agar pemerintah melakukan analisis yang komperhensif mengenai penerapan kebijakan baik BMAD maupun Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).
Sebagai catatan, BMAD adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang dumping yang menyebabkan kerugian. Sementara itu, BMTP merupakan pungutan negara yang dapat dikenakan terhadap barang impor dalam jika terjadi lonjakan impor yang mengancam pelaku usaha dalam negeri.
"Pemerintah harus melakukan kajian analisis yang komprehensif dan matang, selama ini pengaturan BMTP (Bea Masuk Tindakan Pengamanan) dan BMAD yang kita lakukan tidak berlandaskan analisis yang matang dan valid bahkan terlihat asal-asalan. Justru ini menjadi kontraproduktif dalam pemberian instrumen tersebut. Bahkan, jika digugat, kita akan kalah," kata Andry kepada kumparan, Sabtu (27/7).
ADVERTISEMENT
Selain potensi ancaman gugatan kepada WTO, penerapan kebijakan BMAD yang tidak dihitung secara matang akan membuat negara importir melakukan retalisasi. Sebagai contoh, Andry bilang, saat ini China juga tengah berencana untuk menerapkan BMAD bagi produk baja asal Indonesia.
"Salah satu yang saat ini di highlight adalah rencana China mengenakan BMAD baja asal Indonesia," katanya.
Selain itu, dampak lain yang akan ditimbulkan oleh kebijakan penerapan BMAD dan BMTP tanpa analisis matang yaitu terjadinya monopoli barang di tingkat produsen.
Sebab, tingginya bea masuk akan mendongkrak harga barang saat dipasarkan di Tanah Air. Kondisi harga produk impor yang naik ini dalam kondisi tertentu membuat persaingan usaha lebih adil.
Akan tetapi sebaliknya, bagi produk impor yang belum diproduksi industri dalam negeri tentu saja akan merugikan pelaku usaha.
ADVERTISEMENT
"Betul bagus, jika produknya ada. Jika tidak ada, maka akan terjadi monopoli yang dilakukan produsen, efeknya adalah harga yang meningkat karena tidak ada persaingan di sana. Jadi harus ekstra hati hati," terang Andry.
Senada dengan Andry, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda juga menuturkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) harus bertanggung jawab secara penuh atas kajian dan analisis pengenaan BMAD.
Sebab, BMAD ditetapkan apabila terbukti adanya praktik antidumping dari negara bersangkutan.
"KADI dalam hal ini bertanggung jawab utuk membuat kajian yang menjadi dasar pengenaan BMAD. Jika terbukti, ya sah-sah saja, melakukan BMAD barang tertentu dari negara tertentu," kata Nailul kepada kumparan, Sabtu (27/7).
Sebelumnya, Ketua Umum Perjuangan Rakyat Nusantara (Pernusa), K.P. Norman Hadinegoro yang juga merupakan relawan Jokowi menyebutkan penerapan bea masuk 200 persen bagi produk keramik porselen dari China berpotensi mengantarkan Indonesia pada urusan di WTO.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, perdagangan ekspor maupun impor antar negara sudah diatur dalam perdagangan internasional, kerja sama itu harus diikuti oleh kedua negara antara Indonesia dan China.
“Kan kita melihat bangsa satu dengan bangsa yang lain saling berdagang saling bersinergi, jadi harusnya melihat Indonesia secara global, bukan hanya Indonesia negara lain juga melakukan hal yang sama, tapi apa daya kondisinya masih seperti ini,” tutur Norman.