Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pengamat Beberkan Penyebab Deretan Proyek Food Estate Berakhir Gagal
23 Januari 2024 17:46 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Program food estate yang kini tengah ramai dibicarakan usai berkali-kali disinggung dalam debat Capres dan Cawapres, di Indonesia bukan lah hal baru. Namun, disebut belum dapat membuahkan hasil yang memuaskan.
ADVERTISEMENT
Guru Besar IPB , Dwi Andreas Santosa, membeberkan alasan mengapa program-program food estate di Indonesia tidak berakhir memuaskan.
“Karena melanggar kaidah-kaidah akademis, seluruh food Estate Indonesia melanggar kaidah-kaidah akademis, melanggar empat pilar yang harus ada semua, harus perfect semua,” kata Dwi diskusi Outlook Ekonomi Sektor-Sektor Strategis 2024 Core di Jakarta pada Selasa (23/1).
Menurut dia, pilar-pilar tersebut tidak bisa dipisahkan dan melengkapi satu sama lain, agar semuanya dapat berhasil dalam menggarap lahan.
"Sebelum proyek tersebut bisa berjalan dan menguntungkan satu saja dari pilar ini tidak diikuti, maka jawabannya pasti gagal,” tambah Dwi.
Empat pilar pengembangan lahan pangan yang dimaksud Dwi meliputi kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan teknologi, kelayakan infrastruktur, juga kelayakan sosial dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Dwi juga memaparkan ada beberapa program food estate yang dilakukan pemerintah, sebelum program food kali ini diketok.
Program serupa bahkan telah diketok di Indonesia pada 1996 lalu, tepatnya pada lahan seluas 1,4 juta hektare di Kalimantan. Proyek tersebut dibatalkan tiga tahun kemudian. Untuk proyek tersebut, pemerintah menggelontorkan dana sebanyak Rp 6 triliun.
“Tahun 1999 dibatalkan oleh Badan Perencana Nasional, pemerintah keluar dan Rp 3 triliun padahal untuk merusaknya juga butuh dana Rp 3 triliun, jadi pas lah merusak Rp 3 triliun, merehabilitasinya juga Rp 3 triliun, hilang sudah dananya,” tutur Dwi.
Tidak hanya merugikan dari segi nominal dana yang digelontorkan, lahan yang gagal digarap program food estate pada 1996 tersebut juga menjadi tempat kebakaran hutan dan lahan jumbo pada 2015 lalu.
ADVERTISEMENT
“Dan di tahun 2015, di lahan 1,5 juta hektar tersebut menjadi pusat karhutla terbesar di Indonesia, ada 125 titik di sana, lumayan menjadi ekspor Indonesia untuk asap ke Singapura dan Malaysia,” tambah Dwi.
Selain di Kalimantan, proyek serupa food estate juga pernah diketok pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tepatnya pada 2008 di Merauke. Program tersebut bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
“Pada zaman SBY ada Mifee pada 2008, itu gagal total, bagaimana caranya membagi lahan di Merauke untuk 37 investor,” imbuh Dwi.
Selanjutnya ada juga proyek food estate Bulungan, menggarap lahan seluas 300.000 hektare di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara pada 2013. Lagi-lagi Dwi bilang, proyek yang bertujuan untuk ketahanan pangan ini gagal.
ADVERTISEMENT
Di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah ada program serupa dengan food estate yang dinamakan proyek Rice Estate pada 2015.
Dwi menilai total luas lahan untuk proyek ini adalah 1,2 juta hektare di Merauke yang juga berakhir sia-sia.
Dwi menuturkan, awalnya pemerintah ingin menggarap lahan seluas 4,6 juta hektare untuk proyek ini di Merauke, namun angka tersebut merupakan total luas tanah Merauke.
“Saya bantu hitungkan yang lahannya kira-kira (berapa) cocok, akhirnya itu (1,2 juta hektare) angka yang digunakan, hasilnya 0 besar,” jelas Dwi.
Hal serupa diutarakan Dwi saat menilai keberhasilan program food estate yang digarap di Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
“Kalau ada yang bilang food estate di Gunung Mas itu berhasil, menurut saya gagal, (lahan) Gunung Mas bukan lahan berpasir, tapi lahan pasir,” tutur Dwi.
ADVERTISEMENT