Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Pengamat: Kenaikan UMP 6,5 Persen Tak Bisa Kompensasi Penurunan Daya Beli
1 Desember 2024 14:32 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
"Enggak bisa, karena kenaikan PPN dampaknya ke permintaan agregat sangat tinggi. Meskipun upah naik minimum 6,5 persen, tapi upah riil sangat minim kenaikannya. Kerugian ke konsumsi rumah tangga dan PDB sangat tinggi," ujar Nailul Huda ketika dikonfirmasi kumparan, Minggu (1/12).
Huda bilang, upah riil yang minim disebabkan karena inflasi volatile food yang akan mencapai 5 hingga 6 persen. Menurutnya, kenaikan UMP 6,5 persen belum sesuai fakta di lapangan.
"Kelas menengah ke bawah, konsumsi paling banyak adalah volatile food, akan lebih rendah lagi kenaikan upah riilnya karena inflasi volatile food bisa mencapai 5-6 persen. Jadi, saya rasa belum sesuai kenaikan UMP ini," kata dia.
Kenaikan UMP 6,5 persen kata Huda masih lebih rendah dari yang seharusnya didapatkan oleh buruh. Huda menghitung, kenaikan UMP mestinya ada di kisaran 8-10 persen, mengingat proyeksi Huda akan inflasi dan pertumbuhan ekonomi ke depan.
ADVERTISEMENT
"Hitungan saya, kenaikan UMP harusnya berada di kisaran 8-10 persen sesuai dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Jika 6,5 persen, dengan inflasi prediksi hingga 3,5 persen tanpa kenaikan Tarif PPN, artinya tambahan pendapatan riil hanya 3 persen," jelas Huda.
Jika proyeksi inflasi 4,1 persen di tahun 2025, sekaligus tambahan naiknya PPN 12 persen. Huda menyebut, kenaikan upah riil buruh bakal semakin tergerus.
"Apalagi jika tahun depan, pemerintah menaikkan tarif PPN ke angka 12 persen. Perkiraan saya, inflasi ada di angka 4,1 persen tanpa ada kenaikan bbm, yang semakin menurunkan kenaikan upah riil," imbuh dia.
Menyoal UMP 6,5 persen diikuti naiknya PPN 12 persen, Huda mengingatkan, dunia usaha bisa lesu akibat permintaan yang terbatas. Saat itu lah, kata dia, ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga semakin meningkat.
ADVERTISEMENT
"Pekerja tidak bisa menabung lagi, bisa jadi malah mantab alias makan tabungan. Di saat bersamaan, inflasi yang tinggi menurunkan permintaan agregat. Dunia usaha bisa lesu karena permintaan yang terbatas. Ancaman bagi PHK juga akan semakin meningkat," tutup Huda.