Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Pemerintah berencana akan melakukan simplifikasi tarif cukai rokok dan cukai hasil tembakau. Dari saat ini sebanyak sepuluh layer menjadi hanya tiga hingga lima layer di 2024.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77 Tahun 2020, yang merupakan aturan turunan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020 mengenai RPJMN 2020-2024.
Meski demikian, rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani itu diprotes berbagai kalangan usaha di industri rokok.
Padahal, simplifikasi rokok dinilai dapat mendorong penerimaan negara.
Koordinator Riset Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Indonesia, Denny Vissaro, mengatakan jika aturan simplifikasi diterapkan, akan mendorong terciptanya level of playing field atau kesetaraan pada pelaku industri rokok.
Menurut Denny, sebenarnya ada tiga permasalahan dalam regulasi cukai rokok yang berlaku saat ini. Akibat hal tersebut, terjadi persaingan yang tidak sehat dalam industri rokok.
Permasalahan pertama, berkaitan dengan struktur tarif dari produk hasil tembakau yang bersifat kompleks. Kedua, berkaitan dengan penyesuaian tarif cukai hasil tembakau dan harga jual eceran yang tidak menentu, baik antargolongan maupun antarjenis hasil tembakau. Ketiga, berkaitan dengan aspek pengendalian produk tembakau.
ADVERTISEMENT
“Konsekuensinya beragam, mulai dari potensi masih adanya shortfall untuk penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun ini, hingga level of playing field yang tidak setara antarpelaku bisnis,” ujar Denny dalam laporannya yang diterima kumparan, Senin (27/7).
Pemerintah sendiri sebenarnya telah mengupayakan untuk menutup potensi dari ketiga masalah tersebut melalui PMK 146 Tahun 2017. Dalam beleid ini, pemerintah membuat roadmap agar tarif cukai rokok bisa berkurang menjadi lima layer untuk kategori Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) di 2021.
Dalam peraturan tersebut, sebenarnya pemerintah bisa mengoptimalisasikan penerimaan cukai rokok , meningkatkan kepatuhan pengusaha pabrik hasil tembakau atau importir, serta penyederhanaan sistem administrasi di bidang cukai. Sayangnya, peraturan tersebut dibatalkan karena terbitnya PMK 156 Tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Denny melanjutkan, saat ini perusahaan banyak yang mengambil celah dari kerumitan layer tarif cukai rokok. Yaitu melalui sistem pembatasan produksi tersebut untuk bertahan di golongan II, yang produksinya hanya 500 juta batang hingga maksimal 3 miliar batang per tahun.
Selain itu, karena kenaikan tarif cukai rokok yang akan terjadi terus-menerus, para produsen juga memiliki potensi yang semakin besar untuk menghindari beban cukai, melalui eksploitasi layer tarif golongan yang lebih rendah.
Menurut dia, cara yang digunakan yaitu melalui strategi pembatasan produksi hingga melakukan akuisisi pabrikan di layer yang lebih rendah.
“Celah dari kebijakan yang ada saat ini menjadikan entitas besar di industri hasil tembakau dapat memanfaatkan tarif cukai untuk golongan II maupun golongan III. Padahal faktanya, jika ditinjau dari sisi entitas grup usaha, pelaku bisnis industri hasil tembakau ini sudah sepatutnya berada di golongan teratas masing-masing kategori,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut dikatakan Denny, kondisi yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Perusahaan kecil menengah di golongan II dan III yang bersaing langsung dengan entitas besar, melalui tarif cukai hasil tembakau dan harga jual yang sama.
Sebaliknya, celah di mana pabrikan besar bermain di golongan yang seharusnya dimanfaatkan untuk pabrikan kecil. Lebih lanjut, penggabungan batasan produksi SKM dan SPM menjadi Sigaret Mesin (SM) ini pun hanya akan berdampak pada perusahaan besar multinasional saja.
“Pelaku usaha lokal yang membuat pabrikan industri hasil tembakau skala menengah juga tidak akan terdampak ataupun ‘dipaksa naik’ ke golongan teratas,” tulis Denny.
Hal ini mencermati kondisi bahwa perusahaan dengan entitas induk lokal tersebut umumnya hanya memproduksi satu jenis rokok mesin, baik yang berupa SPM saja atau SKM saja.
ADVERTISEMENT
“Sehingga total produksi rokok entitasnya tetap terjaga di bawah 3 miliar batang per tahun,” tambahnya.