Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Pengamat Sebut Petani Cerah Gabah Dibeli Rp 6.500 per Kg, tapi Bulog Bisa Merana
2 Februari 2025 19:48 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pengamat pertanian, Dwi Andreas Santosa, menilai kebijakan tersebut menjadi keuntungan tersendiri bagi petani.
“Sehingga untuk beberapa kasus, sebagian besar kasus gabah buruk itu diakibatkan oleh alam, bukan karena faktor petaninya, ini yang penting. Sehingga penghapusan rafaksi ini amat sangat disyukuri bagi petani,” ungkap Andreas kepada kumparan, Minggu (2/2).
Saat ini, Bulog diwajibkan untuk menyerap Gabah Kering Panen (GKP) dari segala tingkatan kualitas dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) di satu harga, yakni Rp 6.500 per kilogram (Kg).
Andreas melihat hal ini sebagai langkah pemerintah untuk menanggung risiko panen atas keberadaan gabah dengan kualitas di bawah standar. Di sisi lain, kondisi tersebut bisa menjadikan Bulog sebagai penyerap dapat merugi karena harus membeli gabah dengan kualitas di bawah standar dengan harga yang sama dengan gabah kualitas terbaik.
ADVERTISEMENT
“Karena kadar air ini kan, mutu gabah itu kan sangat penting. Seberapa banyak beras yang bisa dijadikan dari gabah tersebut itu sangat ditentukan oleh mutu gabahnya mutu gabah. Itu ada dua, yang satu sudah barang tentu kadar air gabah lalu yang kedua kualitas gabah,” terang Andreas.
Untuk itu, Andreas menyarankan agar dukungan pemerintah seperti insentif kepada Bulog harus ditingkatkan. Hal ini karena saat ini Bulog juga perusahaan umum yang memerlukan profit.
“Ya kasihan Bulog kalau kerugian risiko tersebut dibebankan sepenuhnya Bulog tanpa pemerintah membantu,” ujar Andreas.
Andreas menyadari tujuan akhir pemerintah adalah kesejahteraan petani. Meski begitu, Andreas menyarankan jangan sampai pemerintah mengorbankan Bulog untuk hal tersebut.
Senada, pengamat pertanian Syaiful Bahari juga melihat pencabutan aturan rafaksi memang menguntungkan petani. Namun, ada pihak lain yang justru berpotensi dirugikan selain Bulog yakni industri penggilingan padi.
ADVERTISEMENT
“Jika pedagang atau industri penggilingan padi diharuskan membeli tanpa rafaksi maka risiko kerugian sepenuhnya ditanggung pengepul atau industri. Karena harga berdasarkan HPP pun juga sudah ditetapkan pemerintah,” jelas Syaiful.
Perihal serapan, Syaiful melihat Bulog memang memiliki tugas sosial untuk melindungi petani. Ia hanya khawatir jika pencabutan rafaksi diberlakukan ke seluruh serapan, termasuk serapan di luar Bulog atau oleh industri.
“Jika pemerintah ingin memberlakukan pencabutan rafaksi, seharusnya diperbaiki dulu kualitas produksi padi di petani. Kewajiban pemerintah adalah menyediakan pupuk yang cukup, kualitas bibit yang baik, perbaikan infrastruktur pertanian, dan modernisasi teknologi baik di hulu maupun pasca panen,” tutur Syaiful.
Melalui Keputusan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2025, HPP Rp 6.500 per kg berlaku untuk gabah dengan kriteria kualitas kadar air maksimal 25 persen dan kualitas kadar hampa maksimal 10 persen. Sementara gabah yang kualitasnya di bawah persyaratan akan menggunakan harga rafaksi yang tertera dalam aturan tersebut.
ADVERTISEMENT
Aturan ini dicabut melalui Keputusan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 14 Tahun 2025 yang mengubah Keputusan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2025.
Pada aturan lama terdapat harga rafaksi untuk GKP di bawah standar yang berkisar dari Rp 5.950 per kg sampai Rp 6.200 per kg bergantung pada kualitas yang ada. Namun, dengan aturan baru HPP untuk GKP berlaku dengan satu harga di angka Rp 6.500 per kg.