Pengamat Sebut Skema Co-payment Asuransi Kesehatan Perlu Penurunan Premi

11 Juni 2025 12:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Ilustrasi asuransi. Foto: Inna Dodor/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi asuransi. Foto: Inna Dodor/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pengamat asuransi, Irvan Rahardjo, buka suara soal skema co-payment dalam asuransi kesehatan yang akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2026. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025.
ADVERTISEMENT
Penerapan skema co-payment adalah pembagian risiko pembiayaan layanan kesehatan antara perusahaan asuransi dan nasabah. Melalui skema ini, Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta diwajibkan menanggung sebagian biaya klaim rawat jalan maupun rawat inap.
Co-payment yang ditetapkan sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim, dengan batas maksimum Rp 300.000 untuk klaim rawat jalan dan Rp 3 juta untuk klaim rawat inap.
Objek pengaturan dalam SEOJK 7/2025 tidak berlaku untuk skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan ditujukan hanya untuk produk asuransi kesehatan komersial.
Irvan mengatakan, penerapan co-payment tidak akan merugikan masyarakat. Hal ini karena ketentuan ini akan mengarah pada penurunan premi, karena selama ini banyak klaim yang berlebihan atau over-utilitas.
ADVERTISEMENT
"Tidak merugikan sepanjang perusahaan asuransi menunjukkan komitmen pelayanan klaim yang lebih baik dan upaya penurunan premi sebagai kompensasi atas berlakunya tanggungan sendiri atau co-payment,” kata Irvan dalam keterangannya, Rabu (11/6).
Dia melanjutkan, skema co-payment ini bisa membantu meminimalisasi potensi penyalahgunaan atau fraud saat pengajuan klaim. Ia bilang, potensi moral hazard dan fraud yang bisa berasal dari berbagai pihak, termasuk perusahaan asuransi, rumah sakit, dokter, hingga pasien saat ini sangatlah tinggi.
“Ini akan mengurangi overutilization, yakni penggunaan diagnosis medis dan pengobatan yang berlebihan dengan dalih mumpung ada asuransi,” jelasnya.
Selain itu, Irvan menilai mekanisme co-payment ini juga tidak akan menurunkan minat masyarakat di tengah situasi biaya inflasi medis yang terjadi. “karena kenaikan inflasi medis lebih tinggi dari tanggungan sendiri klaim dan BPJS bukan opsi untuk migrasi karena BPJS akan menerapkan Klas Rawat Inap Standard (KRIS),” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Skema co-payment juga berfungsi sebagai premi tambahan manakala terjadi klaim saja. Untuk itu, ia menekankan pentingnya edukasi kepada nasabah agar mereka paham bahwa skema co-payment merupakan bentuk pembagian risiko guna menjaga keberlanjutan layanan asuransi.
“Untuk menjaga sustainability asuransi dalam memberi pelayanan kepada nasabah. Karena premi bersifat biaya tetap (fix cost), sedangkan co-payment bersifat variable cost hanya saat terjadi klaim saja,” imbuh Irvan.
Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Budi Tampubolon mengatakan bahwa skema co payment untuk produk asuransi kesehatan akan membuat tarif premi lebih terjangkau bagi masyarakat.
Budi menilai bahwa skema co-payment diperlukan untuk menahan laju kenaikan premi. Tanpa skema ini, lonjakan biaya kesehatan akan membuat premi terus naik dan menjadi beban tambahan yang tidak terjangkau oleh banyak pihak.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita percaya bahwa apa yang terjadi belakangan ini memberatkan masyarakat, klaim naik. Klaim naik itu pasti memberatkan kami. Tapi at the end of the day, akan memberatkan masyarakat ketika harus membayar klaim ini,” tambahnya.