Pengusaha & Hotman Paris Minta Insentif Fiskal Usai Pajak Hiburan Naik 40-75%

26 Januari 2024 11:53 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani dan pengacara kondang Hotman Paris di Kantor Kemenko Marves, Jakarta pada Jumat (26/1/2024).  Foto: Widya Islamiati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani dan pengacara kondang Hotman Paris di Kantor Kemenko Marves, Jakarta pada Jumat (26/1/2024). Foto: Widya Islamiati/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Hariyadi Sukamdani, beserta Pengacara Hotman Paris dan mendatangi kantor Luhut B. Pandjaitan yakni Kemenko Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jumat (26/1).
ADVERTISEMENT
Kedatangannya itu untuk mengadu terkait proses judicial review peraturan pajak hiburan 40-75 persen di Mahkamah Konstitusi yang terlalu memakan waktu.
“Kami mohon ke Pak Luhut sebagai Menko yang membawahi bidang pariwisata, untuk dapat membantu agar kepala daerah dapat menggunakan kewenangannya yang tercantum di pasal 101, UU HKPD Nomor 1 2022, di mana dalam pasal itu daerah berhak untuk mengeluarkan insentif fiskal,” kata Hariyadi saat ditemui awak media di Kantor Kemenko Marves, Jakarta pada Jumat (26/1).
Adapun dalam pasal 101 UU Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) ini dijelaskan, pemberian insentif fiskal dimungkinkan untuk mendukung kemudahan investasi. Pemberian insentif ini berupa pengurangan keringanan pembebasan, penghapusan pokok pajak dan retribusi beserta sanksinya.
ADVERTISEMENT
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani dan pengacara kondang Hotman Paris di Kantor Kemenko Marves, Jakarta pada Jumat (26/1/2024). Foto: Widya Islamiati/kumparan
Hariyadi bilang, terdapat 2 skema dalam pemberian insentif ini yakni, melalui permohonan dari perusahaan terkait ke kepala daerah, atau kepala daerah yang bisa punya kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan berdasarkan jabatannya.
"Kami memohon yang metode kedua bahwa kepala daerah itu bisa mengeluarkan kebijakan sesuai jabatannya,” jelas dia.
Langkah ini dinilai bisa meringankan pungutan pajak hiburan ini. Apalagi, tenaga kerja di sektor ini juga terbilang banyak.
“Karena tarif baru ini, ini betul betul di lapangan ini memberatkan industri seperti, kelab malam, bar, karaoke, spa dan diskotik. Lima ini menampung banyak sekali tenaga kerja di sana,” imbuh Hariyadi.
“Kalau nanti industri gulung tikar, masyarakat yang rugi dan negara sendiri. Paling kita khawatirkan adalah kehilangan pekerjaan banyak di tengah masyarakat yang ada di sana. Kemungkinan juga akan muncul illegal business, karena bisnis resminya seperti itu tarifnya maka akan muncul yang ilegal,” tutupnya.
ADVERTISEMENT