Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pengusaha Keluhkan Banyak Toko Ritel Tutup Imbas Serbuan Produk Impor Ilegal
5 Juli 2024 18:41 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
"Banyak peritel tutup toko. Itu mempengaruhi okupansi rata-rata nasional. Ini yang harus dibenahi segera," kata Alphonzus saat media gathering di Sarinah Jakarta, Jumat (5/7).
Pada tahun 2023 ketika menyusun rencana bisnis 2024, APPBI menargetkan okupansi mencapai 90 persen seperti sebelum pandemi COVID-19. Namun dengan maraknya produk impor ilegal, target tersebut terkoreksi menjadi 80 persen, lebih realistis.
"Ketika COVID-19 turun menjadi 70 persen. Tahun 2023 sudah 80 persen. Kami harap tahun 2024 mencapai 90 persen, tapi kami revisi karena banyak sekali gangguan-gangguan yang mengakibatkan peritel ada yang mengurangi pembukaan toko baru," kata Alphonzus.
Menurutnya target 80 persen tersebut lebih realistis karena tahun ini tersisa hanya lima bulan, ditambah musim puncak ketika Lebaran sudah berlalu. Namun bila tren penutupan toko di ritel masih berlanjut, kondisi ritel-ritel bisa lebih buruk dari perkiraan.
ADVERTISEMENT
"Sekarang sedang musim rendah. Ini sedikit mengkhawatirkan. Mudah-mudahan kami bisa bertahan di 80 persen. Tapi kalau diperkirakan masuk 2025 saya kira 80 persen diragukan, apa bisa bertahan di 80 persen di awal 2025," ujarnya.
Sementara Ketua Umum Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah mengatakan produk impor ilegal selain merugikan produk lokal juga merugikan produk impor legal.
Dia mencontohkan dampak lainnya dari peredaran produk impor ilegal di Indonesia ini seperti hengkangnya brand-brand luar negeri yang sudah produksi di Indonesia.
"Global brand bisa enggak mau bikin kalau banyak barang ilegal di Indonesia, biisa dipindahkan produknya ke negara lain. Itu kerugiannya besar skelai. Contoh kita sebut satu merek saja, ada yang USD 500 juta per tahun, order ke pabrik Indonesia tekstil garmen. Itu bisa rugi besar," kata Budi.
ADVERTISEMENT