Pengusaha Kompak Tolak Cukai Plastik dan Minuman Berpemanis: Rugikan Industri!

18 Desember 2022 7:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dewan Pimpinan Harian Apindo, Hariyadi Sukamdani. Foto: Selfy Momongan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dewan Pimpinan Harian Apindo, Hariyadi Sukamdani. Foto: Selfy Momongan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Asosiasi pengusaha kompak menolak pungutan cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang akan diterapkan mulai tahun 2023. Kebijakan itu tertuang melalui Perpres Nomor 130/2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023.
ADVERTISEMENT
Beberapa asosiasi pengusaha tersebut antara lain Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Mereka menganggap kebijakan tersebut berpotensi merugikan industri dan masyarakat sebagai konsumen.

Alasan Apindo Tolak Cukai Plastik dan Minuman Manis Kemasan

Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani, mengatakan pihak pengusaha keberatan dengan pungutan cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan didasari oleh beberapa alasan.
Pertama, kata dia, berdasarkan sebuah kajian yang dilakukan tahun 2014, minuman siap saji non susu (baik manufactured maupun bukan) bukan kontributor terbesar diabetes dan obesitas di Indonesia.
"Yang terbesar adalah nasi, protein, dan makanan yang mengandung lemak dan karbohidrat," ujar Hariyadi saat dihubungi kumparan, Jumat (16/12).
Karyawan melintas di depan lemari pendingin minuman kemasan di salah satu gerai Alfamart di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (20/2). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyud
Kemudian, Hariyadi mengeklaim bahwa sektor industri minuman masih belum pulih. Hingga saat ini, kata Hariyadi, pertumbuhan industri masih negatif dibandingkan sebelum pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
"Tekanan juga bertambah dari kenaikan harga energi, logistik, upah, dan bertumbuhnya minuman non manufactured," kata Hariyadi.
Sementara untuk pungutan cukai plastik, Hariyadi menyebut pihak pengusaha juga keberatan dengan kebijakan tersebut. Alasan pertama yakni kemasan plastik digunakan pada hampir semua kemasan karena sifatnya yang ringan dan harganya terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
"Pemakaian plastik juga dipandang sebagai upaya mengurangi jejak karbon yang dihasilkan oleh material alternatif lainnya, di mana jejak karbonnya jauh lebih besar daripada plastik," jelas dia.
Hariyadi juga menyarankan pemerintah sebaiknya mengoptimalkan manajemen persampahan plastik secara komprehensif dan holistik untuk mengatasi masalah lingkungan hidup, bukan malah memungut cukai.

Kadin: Cukai Berpotensi Merugikan Industri dan Masyarakat

Ketua Umum KADIN Arsjad Rasjid. Foto: Dok. Kadin
Ketua Umum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid, mengungkapkan pihaknya pada dasarnya melihat cukai sebagai instrumen yang baik untuk meningkatkan pendapatan negara, serta kemakmuran masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Tetapi dengan kondisi industri Indonesia yang sedang dihadapi berbagai gejolak ekonomi global, adanya cukai berpotensi memberikan beban tambahan sehingga dapat merugikan industri dan masyarakat sebagai konsumen," kata Arsjad saat dihubungi kumparan, Sabtu (17/12).
Arsjad menuturkan, salah satu dampak dari pengenaan tarif cukai adalah kenaikan harga pada produk yang menjadi objek cukai dan mengurangi daya saing produk dalam negeri. Kenaikan harga jual produk tentunya akan menyesuaikan dengan tarif cukai yang ditetapkan oleh pemerintah.
Apabila cukai diterapkan untuk kemasan plastik, dia menilai hal ini akan berpotensi membuat masyarakat beralih ke produk kemasan plastik impor yang secara relatif akan lebih terjangkau.
"Imbas dari kenaikan harga kemasan plastik ini akan sangat berdampak pada masyarakat kelas menengah ke bawah, karena kurangnya wawasan dan kesadaran untuk beralih pada produk yang lebih ramah lingkungan," terang Arsjad.
ADVERTISEMENT
Arsjad menilai masyarakat juga cenderung masih memilih produk kemasan plastik dari kemasan yang lebih ramah lingkungan seperti kertas, karena lebih tahan lama dan relatif lebih terjangkau. Tak hanya itu, dia juga melihat cukai juga tidak efektif mengurangi limbah plastik.
"Kadin melihat diperlukan langkah lainnya selain kebijakan cukai. BPS mencatat sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun. Maka dari itu, butuh kebijakan dan juga infrastruktur untuk sistem daur ulang limbah plastik yang memadai," tutur Arsjad.