Pengusaha Tolak Rencana Pajak Karbon: Berpotensi Memperburuk Ekonomi RI

24 Agustus 2021 16:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Emisi Karbon Perkotaan Foto: Aly Song
zoom-in-whitePerbesar
Emisi Karbon Perkotaan Foto: Aly Song
ADVERTISEMENT
Para pengusaha merasa rencana pemerintah menetapkan tarif atas emisi karbon salah satunya dengan pengenaan pajak karbon kurang tepat. Pengusaha menganggap pajak karbon malah membuat ekonomi Indonesia semakin buruk.
ADVERTISEMENT
“Rencana pengenaan pajak karbon diyakini justru dapat memperburuk perekonomian Indonesia. Para pelaku industri telah berupaya meminta penghapusan pengenaan pajak karbon tersebut,” dikutip dari bahan paparan Kadin dan Apindo saat RDPU Panja RUU KUP dengan Komisi XI, Selasa (24/8).
Ada beberapa pertimbangan yang dibuat pengusaha terkait penerapan pajak tersebut. Pertama, penerapan pajak karbon di Indonesia berpotensi menimbulkan dampak negatif yang sangat signifikan dan sistemik terutama bagi kestabilan pekonomian Indonesia, neraca perdagangan, dan pendapatan negara.
Kedua, ketergantungan proses produksi dan distribusi industri terhadap bahan bakar fosil masih sangat tinggi. Ketiga, kapasitas terpasang dan investasi pada Pembangkit Tenaga Listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) masih rendah. Capaian EBT saat ini dianggap masih jauh dari target, yakni baru mencapai 11,5 persen hingga 2020 dari target 23 persen pada 2025.
ADVERTISEMENT
Keempat, belum banyak negara sedang berkembang yang menerapkan pajak karbon. Rata-rata diterapkan di negara maju yang menghasilkan emisi karbon dan tidak mempunyai area hijau yang luas untuk menekan peningkatan emisi karbonnya. Realisasi di negara-negara tersebut memerlukan proses panjang.
Kelima, pemerintah belum membuat peta jalan atau road map energi komprehesif yang memetakan rencana dan upaya pengaturan energi, sehingga dapat memenuhi target Paris Agreement, yaitu netral karbon di tahun 2050. Keenam, Indonesia sebagai negara berkembang terpaksa ikut menanggung dampak penggunaan energi fosil dari negara industri maju.
Ilustrasi membayar pajak. Foto: Shutter Stock
Menteri Keuangan Sri Mulyani berencana menerapkan pajak karbon. Hal itu tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) RAPBN 2022, disebutkan pajak karbon sebagai salah satu instrumen carbon pricing berbasis non pasar. Pemerintah juga telah merancang dua alternatif dalam skema pengenaan pajak karbon.
ADVERTISEMENT
Pertama, mengenakan pajak emisi karbon melalui instrumen yang sudah ada seperti cukai, pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kedua, mengenakan pajak karbon melalui instrumen baru.
Jika pengenaan pajak karbon dilakukan melalui instrumen baru, kebijakan tersebut harus didukung melalui Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Adapun dalam draf RUU KUP yang diterima kumparan, disebutkan bahwa subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
ADVERTISEMENT
“Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah Rp 75 ribu per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara,” tulis Pasal 44G ayat 5 draf RUU KUP.
Pajak karbon terutang pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu, atau saat lain.
Ketentuan mengenai penetapan tarif pajak karbon, perubahan tarif pajak karbon, dan/atau penambahan pajak objek pajak yang dikenai pajak karbon selain sebagaimana dimaksud akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.