Pengusaha Ungkap Persoalan Impor Pipa yang Bikin Jokowi Pecat Pejabat Pertamina

13 Maret 2021 8:56 WIB
Area jalur pipa Kilang RU V Balikpapan milik Pertamina. Foto: Dok. Pertamina
zoom-in-whitePerbesar
Area jalur pipa Kilang RU V Balikpapan milik Pertamina. Foto: Dok. Pertamina
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Presiden Jokowi mencopot langsung pejabat tinggi PT Pertamina (Persero), gara-gara masih impor pipa baja yang sebenarnya sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Hal itu diungkapkan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, di Rakernas BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi).
ADVERTISEMENT
Atas kejadian tersebut, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi dan Migas, Bobby Gafur Umar pun buka-bukaan menjelaskan penyebab Indonesia kerap impor pipa dari China. Berikut detailnya:
Pabrik baja dalam negeri tidak berproduksi secara maksimal
Pertama, pabrik baja di dalam negeri hanya berproduksi sekitar 40 persen dari kapasitasnya. Sebab, pasar dalam negeri dikuasai impor. Dampaknya, biaya produksi pipa baja di dalam negeri jadi kurang efisien.
“Contoh besi dan baja yang disebut pabrik pipa 30-40 persen utilisasi, padahal market ada berarti sisanya diisi impor,” katanya.
Harga pipa impor lebih murah
Di sisi lain, mantan Direktur Utama PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) tersebut mengungkapkan, harga produk pipa baja impor dari China lebih murah 30 persen dibanding produk dalam negeri. Ia menggambarkan, efisiensi dari pabrik besi dan baja China mampu memproduksi 2-3 juta ton. Kapasitas produksinya jauh di atas pabrik-pabrik baja di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Harga produk pipa impor ini lebih murah dibanding produksi dalam negeri karena Indonesia itu pabrik Indonesia kapasitas 100-200 ribu ton per pabrik,” imbuhnya.
Proses pengangkutan pipa panjang oleh PT KHI Pipe Industries ke atas truk trailer. Foto: dok. Istimewa
Bunga bank di Indonesia terlalu tinggi
Penyebab lain adalah bunga bank yang ditawarkan perbankan China lebih rendah dibanding di Indonesia. Menurut catatannya, bunga bank bagi pengusaha China hanya sekitar 3-4 persen. Sementara di Indonesia bunga bank masih sekitar 10 persen ke atas.
“Belum lagi biaya logistik yang masih mahal, ya meskipun sudah ada kemajuan dalam hal pembangunan jalan tol dan pelabuhan,” ungkapnya.
Pengusaha Indonesia tidak dapat insentif
Hal ini berbeda dengan yang dilakukan China. Menurutnya ada insentif yang diberikan kepada eksportir dari pemerintah China, khususnya untuk ekspor barang jadi.
ADVERTISEMENT
“Ekspor barang jadi mendapat tax insentif, mereka bisa 30 persen lebih murah. Maka dari itu akibatnya pabrik-pabrik kita tidak maksimal utilisasi. Kalau utilisasi aja tidak maksimal bagaimana orang mau bangun pabrik? Industri kita enggak tumbuh,” ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, PT Pertamina (Persero) merombak besar-besaran kursi direksi dan komisaris subholding beserta anak usahanya pada 15 Februari 2021. Salah satu subholding yang mengalami perombakan adalah Refinery & Petrochemical Subholding (PT Kilang Pertamina Internasional). Djoko Priyono diangkat menjadi Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional, menggantikan Ignatius Tallulembang.
Menurut Bobby, kejadian itu ada hubungannya dengan target tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang dipatok pemerintah bisa mencapai 53 persen di tahun 2024. Pertamina adalah salah satu perusahaan di sektor energi yang punya potensi besar dalam mencapai target tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari 6 proyek kilang yang sudah dimulai sejak 2017, ada potensi sebesar Rp 800 triliun. Jika penyerapan bahan baku dalam negeri mencapai 30 persen saja dari proyek tersebut, kata Bobby, maka nilainya sudah mencapai Rp 250 triliun.
"Kita ketahui, pipa Indonesia dihantam banjir pipa impor China dengan harga lebih murah. Jadi Pak Luhut bilang ada pejabat di Pertamina diganti, karena Presiden tidak berkenan bahwa Pertamina masih ada yang belum mengoptimalkan pemakaian produk dalam negeri. Targetnya bobotnya minimal 50 persen," ujar Bobby.