news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Penyelesaian Masalah Minyak Goreng Era Jokowi Dianggap Jadi yang Terlama

25 April 2022 15:22 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Stok minyak goreng di Alfamart Jalan Poltangan Raya, Jakarta, Senin (25/4/2022). Foto: Moh Fajri/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Stok minyak goreng di Alfamart Jalan Poltangan Raya, Jakarta, Senin (25/4/2022). Foto: Moh Fajri/kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah hampir lebih dari 5 bulan polemik mahalnya harga minyak goreng telah berlangsung. Pemerintah sudah berupaya menyelesaikannya dengan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) hingga larangan ekspor minyak goreng.
ADVERTISEMENT
Namun, sejauh ini belum ada tanda-tanda harga kembali normal khususnya pada saat menjelang lebaran Idul Fitri.
“Jadi kondisi ini paling lama dalam sejarah Indonesia. Kita belum pernah mengalami masalah minyak goreng ini sampai 5 bulan lebih. Tahun 2011 pernah terjadi tapi tak sampai 3 bulan stabil,” kata Direktur CELIOS Bhima Yudhistira saat webinar yang digelar Transparency International Indonesia, Senin (25/4).
Bhima menegaskan perlu kebijakan serius atau extraordinary dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Menurutnya langkah pemerintah yang diterapkan sejauh ini belum maksimal. Ia menyebut HET yang sebenarnya bagus tetapi pelaksanaannya kurang tegas.
Di tengah masih mahalnya minyak goreng, Bhima merasa masyarakat masih harus tetap membelinya. Apalagi, kata Bhima, permintaan jelang lebaran bisa saja meningkat sampai 47 persen.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira. Foto: Jafrianto/kumparan
“Jadi sudah harga tinggi masyarakat mau tidak mau (membeli minyak goreng) ini karena untuk kebutuhan pokok untuk makanan minuman, pengusaha UMKM juga butuh goreng untuk makanan minuman. Jadi harga otomatis terbang lebih tinggi pasca 28 April atau jelang Idul Fitri,” ujar Bhima.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan permasalahan minyak goreng tidak kunjung selesai?
Bhima menjelaskan salah satu masalah yang cukup krusial adalah produksi minyak goreng cenderung oligopoli dan terintegrasi hulu ke hilir termasuk distribusinya. Menurutnya hal tersebut menjadi persaingan tidak sehat.
Apalagi, pemerintah juga tidak ikut mengelola produksi minyak goreng. Padahal, kata Bhima, ada PTPN yang bisa dimaksimalkan.
“Kemudian pemerintah tidak mengelola produksi minyak goreng dan distributor diserahkan full kepada swasta, jadi Bulog juga tidak (terlibat),” ungkap Bhima.
Petugas melayani warga membeli minyak goreng pada Bazaar Minyak Goreng Murah Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (20/4/2022). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
Bhima membeberkan persoalan berikutnya adalah konglomerasi sawit mengamankan pasokan minyak goreng untuk anak usahanya. “Kalau ada sidak dengan entengnya akan menjawab untuk keperluan anak usahanya, jadi tak ada penangkapan ke korporasi yang pasokannya ditahan,” terang Bhima.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dianggap terlambat dan moral hazard besar. Bhima mengatakan hal tersebut dibuktikan dengan adanya kasus yang menjerat Dirjen Daglu Kemendag.
“Kebijakan HER sebenarnya bagus, Malaysia juga masih melakukan HET, tapi masalahnya di Indonesia kebijakannya tak dijalankan dengan tegas dan adanya indukasi penimbunan di berbagai titik distribusi dan kebocoran keluar negeri,” ungkap Bhima.
“Kemudian dari sisi suplai ada masalah tapi ini mungkin jangka panjang yaitu peremajaan sawit berjalan lambat,” tambahnya.
Infografik Dari Tandan Sawit hingga Jadi Minyak Goreng. Foto: kumparan
*****
Ikuti giveaway kumparanBISNIS dan dapatkan hadiah saldo digital total Rp 1,5 Juta, klik di sini. Kegiatan giveaway ini terbatas waktunya, ayo segera gabung!