Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Perang Dagang Trump ke China Bisa Ganggu Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Prabowo
8 Februari 2025 20:30 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan ancaman Trump ini juga bisa berdampak ke Indonesia dan mengganggu pertumbuhan ekonomi 8 persen Presiden Prabowo Subianto.
"(Tarif Trump) ekonomi nasional secara jangka menengah-panjang tidak akan kuat. Pertumbuhan ekonomi tidak mungkin mencapai 8 persen," ujar Huda kepada kumparan, Sabtu (8/2).
Menurut Huda, pengenaan tarif barang China akan membuat secara ekspor produk dari Negara Tirai Bambu itu ke AS akan berkurang dan menghadapi surplus barang. China akan mencari pasar ekspor baru, terutama ke negara-negara ASEAN yang tengah mengalami pertumbuhan cukup bagus.
"Indonesia bisa menjadi tujuan dari produk China tersebut, produk China bisa membanjiri pasar dalam negeri. Sebenarnya, hal ini sudah terjadi di mana produk impor dari China membanjiri pasar domestik kita, baik yang legal maupun ilegal," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Dampak tidak langsungnya yaitu penurunan permintaan produk China ke AS akan menyebabkan penurunan permintaan produk negara lain oleh China. Huda berpendapat, Indonesia selama ini mengekspor komoditas ke China yang merupakan pasar utama komoditas Indonesia.
"Tentu ketika permintaan China turun akibat tarif ke AS, maka permintaan komoditas kita di China juga akan melambat. Begitu juga dengan barang-barang ekspor kita ke China lainnya," imbuh Huda.
Huda memprediksi produksi dalam negeri akan menurun akibat pelemahan permintaan China akan produk Indonesia. Ketika produksi turun, Huda mengungkap perusahaan bakal melakukan efisiensi.
"Belum lagi ditambah banjirnya pasar dalam negeri kita oleh produk China. Pengangguran bisa bertambah, korban PHK akan semakin meningkat," pungkasnya.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, produk ekspor China ke AS utamanya berkaitan dengan minyak mentah, persediaan farmasi, hingga elektronik dan komunikasi akan mengalami perlambatan.
ADVERTISEMENT
Dia mewanti-wanti agar pemerintah bisa memitigasi permasalahan ini dengan saksama, karena produk-produk yang biasa dikirim China ke AS akan berpotensi masuk ke Indonesia.
"Masalahnya gini, kalau Indonesia itu kan masih tergantung produk-produk impor itu lebih banyak. Kalau biar tidak tergantung ya perusahaan untuk memproduksi sendiri," jelas Esther ketika dihubungi kumparan.
Esther menyarankan agar pemerintah mulai serius membangun industri elektronik lokalnya dengan memanfaatkan kawasan industri Cikarang, Tangerang, dan Batam agar Indonesia bisa swasembada di bidang industri.
Pasalnya, menurut Esther, RI paling banyak impor dari China di bidang industri elektronik, teknologi komunikasi, dan kendaraan.
"Masalahnya kalau produk Indonesia itu harganya nggak kompetitif ya itu yang akan lebih mudah untuk diserang oleh produk dari China. Artinya kita harus membuat produk yang dengan harga lebih murah at least ya, tapi kualitasnya sama," paparnya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, aliran modal asing mulai meninggalkan negara berkembang. Hal ini terjadi efek kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) BI, Juli Budi Winantya, mengatakan kombinasi kebijakan tarif impor, pemangkasan pajak korporasi, dan pengetatan ketenagakerjaan yang diterapkan pemerintah AS berpotensi menyebabkan inflasi yang lebih tinggi. Bahkan, meningkatkan ketidakpastian pasar global.
Juli menyebut, tarif impor yang diberlakukan AS tidak hanya meningkatkan inflasi dari sisi permintaan, melainkan juga dari sisi harga barang impor.
Selain itu, kebijakan ketenagakerjaan yang memperketat keberadaan tenaga kerja ilegal di AS juga akan meningkatkan tekanan inflasi di negara tersebut. Inflasi yang tinggi serta ekspektasi suku bunga The Fed menyebabkan penurunan aliran modal ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT