Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Perdagangan ASEAN Bergeser dari China ke AS, RI Bisa Untung Ambil Momentum?
15 Juni 2024 17:10 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan perdagangan ASEAN mulai bergeser dari China ke Amerika Serikat (AS).
ADVERTISEMENT
Mengutip data yang dihimpun Nikkei Asia, ekspor ASEAN ke AS mencapai USD 67,2 miliar pada Januari-Maret 2024, melampaui ekspor ke China yang mencapai USD 57 miliar. Para ahli mengatakan tren ini mencerminkan peningkatan pengadaan semikonduktor dan suku cadang listrik di AS dari ASEAN dan perekonomian China yang lesu.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menilai, Indonesia sejauh ini belum banyak memanfaatkan momentum pergeseran global value chain tersebut. Alasannya adalah masih rendahnya diversifikasi produk ekspor nasional, kurangnya peningkatan kualitas produk ekspor, hingga lambatnya industrialisasi di dalam negeri.
"Namun kondisi ini sebaiknya dilihat sebagai trigger bagi Indonesia untuk terus membenahi industrialisasi di dalam negeri agar lebih produktif, lebih kompetitif dan lebih berorientasi ekspor," kata Shinta kepada kumparan, Sabtu (15/6).
ADVERTISEMENT
Nikkei Asia mencatat, ekspor Vietnam ke AS pada kuartal I 2024 naik 24 persen menjadi USD 25,7 miliar, dan menjadi negara nomor satu ASEAN yang paling besar ekspor ke AS melampaui ekspor Thailand dan Singapura ke AS, masing-masing sebesar USD 12,6 miliar dan USD 12 miliar. Sementara posisi Indonesia masih di bawah Thailand dan Filipina yang pertumbuhan ekspornya ke AS kuartal I 2024 ini hanya tumbuh 8 persen, sedangkan ekspor Indonesia ke China di kuartal I 2024 turun hampir 20 persen secara tahunan.
Meski ada tren penurunan ekspor Indonesia ke China, Apindo mencatat dalam empat bulan terakhir nilai ekspor Indonesia ke China masih lebih besar, mencapai USD 18,32 juta, dibanding ekspor ke AS sebesar USD 8,03 juta.
ADVERTISEMENT
Sementara kalau melihat data perdagangan tahun 2023 lalu, baik Indonesia maupun ASEAN masih memiliki nilai ekspor dan pertumbuhan ekspor tahunan yang lebih tinggi ke China, yakni tumbuh sekitar 18 persen yoy untuk ASEAN, dan minus 1 persen khusus untuk Indonesia. Sedangkan nilai ekspor maupun pertumbuhan ekspor ke AS tumbuh sekitar 4 persen yoy untuk ASEAN, dan minus 9 persen yoy untuk Indonesia.
"Dari sini bisa disimpulkan bahwa tren pergeseran ekspor harus diobservasi lebih jauh apakah akan sustainable atau tidak ke depannya, setidaknya setahun ini," kata Shinta.
Shinta memandang, pergeseran rantai pasok global ini sudah terjadi sejak perang dagang AS dengan China memanas. Hal itu direspons AS dengan mencari pemasok alternatif dari China, khususnya produk-produk yang dikategorikan sebagai produk advanced manufacturing seperti komponen dan produk elektronik, permesinan, hingga pembangkit listrik.
ADVERTISEMENT
Tantangan bagi negara-negara yang menggantikan China ini adalah basis manufaktur yang berbeda dengan China sehingga pergeseran rantai pasok ini berjalan lambat. Shinta bilang, sejauh ini negara yang bisa menggantikan China adalah Meksiko dan Kanada.
"Untuk negara-negara ASEAN, yang terlihat menonjol hanya Vietnam, tapi Vietnam pun belum masuk top 5 supplying countries ke pasar AS meskipun pertumbuhan ekspornya ke AS dari tahun ke tahun cukup signifikan dan jauh lebih tinggi daripada negara lain di ASEAN, termasuk Indonesia," kata Shinta.
Dengan dinamika perdagangan global ini, Shinta menilai Indonesia tidak perlu terpaku hanya pada pasar AS dan China, meskipun kedua pasar ini penting dan harus dimaksimalkan.
"Tetapi idealnya Indonesia harus bisa menjangkau sebanyak mungkin pasar global, melakukan diversifikasi pasar tujuan ekspor. Diversifikasi ini yang akan menjadi kunci resiliensi kinerja ekspor nasional untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan tinggi," kata Shinta.
ADVERTISEMENT