Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Permintaan Minyak Mentah Dunia Makin Lesu, Begini Dampaknya ke Bisnis Pertamina
14 September 2024 11:26 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
PT Pertamina (Persero) merespons terkait proyeksi Badan Energi Internasional alias International Energy Agency (IEA) yang menyebut permintaan minyak mentah dunia akan semakin lesu, dan dampaknya terhadap kinerja perusahaan di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
VP Coporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengatakan kendati secara global terus menurun, permintaan minyak mentah di Indonesia malah cenderung naik.
"Tren konsumsi di domestik sebenarnya tidak menurun ya, jadi kalau bagi kita melihat tren konsumsi masyarakat yang trennya masih naik," ungkap Fadjar saat ditemui usai Forum Tematis Bakohumas Bandung, dikutip Sabtu (14/9).
Fadjar menuturkan terlepas dari tren permintaan minyak mentah dunia, Pertamina tetap akan menjaga pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri dan menyeimbangkannya dengan pasokan atau suplai.
Di sisi lain, dia juga menyebutkan pada dasarnya tren permintaan minyak mentah di Indonesia berfluktuasi. Namun Pertamina tidak terpengaruh sepanjang mampu memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat.
"Sebenernya kalau tiap bulan kan fluktuatif sesuai dengan demand pasar juga, tapi kalau bagi kami fokusnya concern-nya pemenuhan kebutuhan domestik dalam negeri, jadi kami mengikuti itu saja, jadi tidak terlalu terpengaruh sih," tegas Fadjar.
Selain itu, Fadjar juga melihat Indonesia masih bergantung pada energi fosil dan kebutuhannya akan terus meningkat setidaknya dalam 10 tahun mendatang. Pasalnya, Indonesia masih membutuhkan dorongan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
"Tapi kalau 2030-2032 mungkin minyak masih dibutuhkan karena ekonomi masih tumbuh, target next year bisa 8 persen segala macam, pasti kebutuhan energi juga makin tinggi, tapi di satu sisi kita kembangkan energi-energi lain biar bauran turun, fosilnya turun, tapi biofuel segala macam bisa naik," jelas Fadjar.
"Tapi kalau secara umum, saya tahunnya agak lupa, tapi dalam jangka waktu dekat sepertinya (fosil) masih menjadi pilihan utama di negara berkembang seperti Indonesia," tambahnya.
Sebelumnya, dikutip dari Reuters, IEA memprediksi permintaan minyak global akan mencapai puncaknya pada tahun 2029 dan mulai berkontraksi pada tahun berikutnya. Sementara AS dan negara-negara non-OPEC lainnya menambah pasokan. Hal ini akan mengakibatkan surplus besar di dekade ini.
Pandangannya bertentangan dengan prospek kelompok produsen minyak Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang melihat permintaan meningkat lama setelah 2029 sebagian karena peralihan yang lebih lambat ke bahan bakar yang lebih bersih dan belum memperkirakan puncaknya.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan permintaan minyak akan mencapai titik puncaknya pada 105,6 juta barel per hari (bph) pada tahun 2029, kata IEA dalam laporan tahunannya, sebelum sedikit berkontraksi pada tahun 2030 seiring meningkatnya penggunaan mobil listrik, peningkatan efisiensi, dan pembangkit listrik beralih dari minyak.
IEA juga memperkirakan kapasitas pasokan mencapai hampir 114 juta barel per hari pada tahun 2030, atau 8 juta barel per hari di atas permintaan yang diproyeksikan, dengan produsen non-OPEC+ yang dipimpin oleh AS menyumbang tiga perempat dari peningkatan kapasitas.
"Proyeksi laporan ini, yang berdasarkan data terkini, menunjukkan adanya surplus pasokan besar pada dekade ini. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan minyak sebaiknya memastikan strategi dan rencana bisnis mereka siap menghadapi perubahan yang terjadi," kata Direktur Eksekutif IEA, Fatih Birol.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan permintaan sebagian besar akan didorong oleh ekonomi negara berkembang di Asia, terutama oleh transportasi jalan raya di India, serta bahan bakar jet dan petrokimia di China.
Dalam laporan terpisah, IEA memangkas perkiraan pertumbuhan permintaan minyak untuk tahun 2024 sebesar 100.000 barel per hari menjadi 960.000 barel per hari, dengan alasan lesunya konsumsi di negara-negara maju.